Senin, 29 Oktober 2007

Jangan Terjebak Jual Beli

Reduksi Karbon Dikhawatirkan Justru Pinggirkan Masyarakat Hutan
Jakarta, Kompas - Seiring pembahasan tentang perubahan iklim, pemerintah diharapkan tidak terjebak pada mekanisme jual beli karbon yang juga akan dibahas di Bali, 3-14 Desember 2007. Selain mengalihkan dari soal utama, mereduksi karbon, mekanisme itu dikhawatirkan justru semakin meminggirkan masyarakat hutan.

"Pembahasan soal jual beli karbon ujung-ujungnya tak lebih dari soal dagang global seperti selama ini. Komoditasnya saja yang beda dan itu sering kali merugikan bangsa kita," kata Puji Sumedi Hanggarawati dari Tim Kampanye Forum Civil Society untuk Keadilan Iklim (CSF) yang dihubungi pada Minggu (28/10).

Forum yang digagas tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut kini beranggotakan 30 LSM. Mereka menyuarakan harapan komunitas lokal yang sudah dan akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim, termasuk mekanisme yang akan diputuskan yang mengatasnamakan reduksi emisi karbon.

Menurut Puji, daripada menghabiskan energi pada soal jual beli karbon, pemerintah semestinya benar-benar mengakomodasi suara komunitas lokal. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat terbesar dari seluruh mekanisme yang dibahas.

"Indonesia harus memiliki posisi tawar model adaptasi alam. Bahwa masyarakat hutan pun dapat mengelola hutan tetap lestari, sekalipun mereka mengambil manfaat dari sana. Hal itu harus diperhitungkan dan dinegosiasikan," kata dia.

Masyarakat hutan dikhawatirkan akan terpinggirkan dari tanah leluhurnya. "Bagaimana mereka mengusahakan hutannya secara adat seperti awalnya bila ada konsesi?" katanya.

Kini CSF makin bergiat mendampingi masyarakat lokal agar memahami perubahan iklim, dampaknya, termasuk hak-hak mereka. "Kami berjuang agar masyarakat tetap dapat mengakses dan mengontrol hutan mereka," kata Puji, yang juga Manajer Advokasi Kebijakan Publik Kehati.

Ketua Delegasi RI Emil Salim menyatakan, menuju protokol baru pascatahun 2012 harus jelas sejak pertemuan di Bali. Jadi, perlu disepakati langkah-langkah seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.

Menanggapi semangat global mekanisme jual beli karbon, sebanyak 10 LSM memberi catatan khusus pada pertemuan pendahuluan pra-Konvensi Para Pihak ke-13 di Bogor akhir pekan lalu. Mereka mendesak agar legitimasi mekanisme baru terkait adaptasi harus lebih tinggi dibandingkan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.

Salah satu isu yang berkembang, seluruh mekanisme pembiayaan karbon yang sedang dibahas tidak akan disetujui bila bertentangan dengan mekanisme WTO dan Bank Dunia. Mereka berkepentingan menjaga "bisnis"-nya di negara-negara berkembang dan miskin.

Read More......

Soal Konservasi Hutan, Inggris Mendukung

Bogor, Kompas - Rencana pengajuan kompensasi bagi Indonesia dalam menjaga dan mencegah kerusakan hutan melalui program Reducing Emission from Deforestation in Developing Country mendapat dukungan dari Inggris yang menganggap program tersebut masuk akal.

Itu antara lain yang dikemukakan Menteri Muda Lingkungan Departemen Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Phil Woolas MP dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (25/10).

Menurut Woolas, pasar karbon yang kini muncul sejalan dengan kebutuhan untuk menyediakan platform yang lebih luas lagi bagi negara berkembang.

"Kami ada pada situasi menyadari tanggung jawab kami, dari negara seperti Inggris. Kami juga menyadari kesulitan ekonomi di negara-negara pemilik hutan utama," ujarnya.

"Kami juga memikirkan ada pasar baru. Dapatkah kita melakukannya dengan cara itu untuk melindungi hutan? Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Kita bisa melihat ini sebagai kesempatan besar. Jika Indonesia dibayar dalam upayanya menjaga hutan, maka setiap pihak diuntungkan," tambahnya.

Wolaas menegaskan, program itu masuk akal. "Dan, deforestasi bukanlah hal yang bisa kami kritik dari Indonesia," kata Wolaas.

"Negara kami telah membabat hutan kami ribuan tahun lalu. Kami bersalah. Jadi kita harus membangun mekanisme yang fair soal pendanaan untuk memberikan kontribusi kepada dunia seperti transfer sumber daya untuk melindungi hutan. Itu situasi win-win," ujarnya. Masalah kehutanan dan deforestasi merupakan isu utama dalam persoalan perubahan iklim.

Adaptasi masih sulit

Menyinggung masalah adaptasi dan mitigasi, Woolas mengatakan, penyediaan dana untuk kedua isu tersebut memang masih sulit dan masih terus dicari terobosan guna menambah persediaan dana untuk itu.

Dia memberikan ilustrasi, "Kami di UK (United Kingdom-Inggris) tahun ini mengalami banjir terburuk sepanjang sejarah sejak 1766. Tinggi air mencapai sekitar 8 meter lebih tinggi dari ketinggian normal," katanya. Dengan kondisi seperti itu, lalu bagaimana menetapkan kebijakan untuk membangun perlindungan? "Berapa batas amannya? Kalau membangun dinding tiga kaki, ternyata tinggi air lebih dari tiga kaki bagaimana," katanya.

"Itu kebijakan yang cukup sulit. Di Bali nanti harus dipikirkan lagi bagaimana menyediakan dana adaptasi yang lebih besar karena (dampak) ini dihadapi oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Ini benar-benar problem. Adaptasi dan mitigasi saat ini menjadi masalah," ujarnya.

Dia menggarisbawahi bahwa impak perubahan iklim terutama di bidang pertanian. Dampak ikutannya yaitu kemiskinan akan semakin luas. Dampak itu menimpa negara di berbagai belahan bumi, misalnya Indonesia, Kenya (kehilangan dua pertiga kebun tehnya), serta Inggris sendiri. "Di Bali nanti pada intinya kami akan membahas detail soal pembangunan berkelanjutan," katanya.

Woolas mengatakan, Inggris memberikan komitmen mengurangi emisi CO>sub<2>res<>res< hingga 12,5 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990 hingga 2012, ternyata tetap menikmati pertumbuhan ekonomi 27 persen 10 tahun terakhir dan sekaligus berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 7 persen. "Demikian juga Swedia. Ini dicapai hanya dengan mengubah teknik produksi," jelasnya.

Bagaimana memberikan teknologi ini kepada negara-negara lain di dunia? "Ini merupakan tanggung jawab negara-negara Barat, yaitu menyediakan pendanaan. Sekarang ada 4,6 triliun dollar dan akan ditambah lagi. Kita juga harus mendapat sumber daya dari sektor swasta untuk transfer teknologi," tambahnya.

Soal menjawab persoalan perubahan iklim, menurut dia, "Kita harus membangun sistem ekonomi dan politik yang aman bagi manusia, yaitu ’melakukannya dengan cara bersih’," katanya.

Read More......

Pertemuan Bogor sepakati agenda konferensi perubahan iklim

BOGOR (Bisnis Indonesia): Pertemuan informal tingkat menteri untuk perubahan iklim yang ditutup kemarin berhasil menyepakati tiga pokok bahasan utama untuk dibawa ke sidang konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007.

Tiga pokok bahasan itu adalah elemen utama mengenai kelanjutan Protokol Kyoto, agenda pelaksanaan, serta penetapan Bali Roadmap sebagai landasan awal untuk menetapkan skema lanjutan upaya pengendalian dampak perubahan iklim jangka panjang.

Pertemuan informal yang diikuti perwakilan dari 37 negara pada tingkat menteri lingkungan hidup di Bogor itu dipimpin Meneg Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo De Boer Rachmat Witoelar mengungkapkan kesepakatan umum yang akan dibahas rinciannya di Bali adalah perluasan kerangka kerja pasca 2012, yaitu saat berakhirnya Protokol Kyoto. Poin lain adalah proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta masalah khusus seperti deforestrasi dan degradasi hutan.

Pada pertemuan itu, para delegasi menyepakati agar penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada yaitu UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan Protokol Kyoto.

Pertemuan itu juga menyepakati kelompok Annex I (negara maju) untuk tetap berperan penting dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Poin lain, kesepakatan kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo Dedoer mengaku puas dengan hasil pertemuan tingkat menteri di Bogor ini karena seluruh negosiator menyatakan siap berunding dalam konferensi di Bali.

Koordinator Perubahan Iklim WWF-Indonesia Ari Muhammad dan Armi Susandi dari Institut Teknologi Bandung mengatakan RI akan mengusung empat agenda utama dalam konvensi internasional mengenai pemanasan global.

Pertama, mengupayakan penghargaan setimpal bagi pengorbanan potensi ekonomi yang timbul dari upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dengan mengurangi penebangan hutan.�

Kedua, masalah alih teknologi bagi pengurangan emisi. Ketiga, pembahasan dana untuk adaptasi program pengurangan emisi. Keempat, pembahasan program pengurangan emisi pasca- Protokol Kyoto pada 2012.

Read More......

Sabtu, 27 Oktober 2007

Panitia Nasional dan Daerah Belum Berkoordinasi

Denpasar, Kompas - Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, tinggal sebulan dilaksanakan, tetapi hingga Jumat (26/10) panitia nasional dan daerah belum melakukan rapat khusus guna memantapkan koordinasi.

Panitia di daerah (Bali) hingga kemarin belum bisa mempersiapkan secara rinci pelaksanaan kegiatan pendukung (parallel event), seperti rencana kunjungan delegasi ke Taman Hutan Raya Mangrove di Denpasar, Hutan Raya Bedugul, dan Proyek Penghijauan di Nusa Penida.

Kelompok kegiatan parallel event ini menjadi tanggung jawab panitia nasional dan daerah. Konferensi akan berlangsung pada 3-14 Desember 2007 dipusatkan di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali.

Belum adanya koordinasi itu diakui sejumlah pihak yang dihubungi terpisah. Mereka di antaranya Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali I Made Sulendra, Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, dan Sekretaris Umum Panitia Daerah UNFCCC R Sudirman yang juga Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Nusra Kementerian LH.

Menurut mereka, koordinasi ini mendesak diadakan karena berkaitan dengan kepastian agenda dan anggaran. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah persiapan-persiapan kecil.

"Kami mempersiapkan boardwalk sepanjang 600 meter di kawasan hutan mangrove di Denpasar," kata Sulendra di Denpasar, Jumat. Hal senada dilontarkan Sudirman secara terpisah. Sementara Gede Nurjaya menambahkan, rapat koordinasi itu sangat ditunggu karena akan melibatkan provinsi lain.

"Ada kemungkinan ruang parkir Bandara Ngurah Rai tak mampu menampung pesawat peserta konferensi, jadi harus berkoordinasi dengan Bandara Mataram atau Surabaya. Itu koordinasinya harus melalui panitia nasional," kata Nurjaya.

Terus berubah

Ketua Pelaksana Harian Panitia Nasional Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo ketika dihubungi menjelaskan, rapat koordinasi sebenarnya sudah lima kali dilakukan.

"Namun semuanya masih berubah-ubah terus karena ada kegiatan dari departemen kehutanan atau dari yang lain. Dan mereka juga ada panitianya," ujarnya. Menurut dia, kepastian bisa didapat jika semua kegiatan panitia dipusatkan di Nusa Dua, yaitu sekitar tiga minggu menjelang konferensi.

Read More......

Delegasi RI Bersiap dalam Satu Bulan

Jakarta, Kompas - Delegasi RI untuk Konferensi Para Pihak Ke-13 di Bali akan dibentuk sebulan sebelum pertemuan dimulai. Nama-nama anggota delegasi direncanakan sudah ada pada 30 Oktober 2007.

Kondisi itu mendatangkan kekhawatiran beberapa pihak mengenai kesiapan delegasi untuk bernegosiasi. "Pembentukan delegasi menunggu pertemuan di Bogor yang berakhir kemarin," kata Ketua Delegasi RI Emil Salim seusai memberi ceramah lingkungan berkelanjutan di Universitas Paramadina Jakarta, Jumat (26/10).

Anggota delegasi yang bertugas melakukan negosiasi akan bertemu secara kontinu untuk membahas laporan-laporan hasil pertemuan para pihak sebelumnya. Tim juga akan merumuskan strategi dan berbagi tugas menangani bermacam isu dan materi yang akan dibahas di Bali.

"Saya kira waktunya cukup. Orangnya terdiri dari mereka yang pernah mengikuti COP sebelumnya," kata dia.

Ketua Bidang Substansi Indonesia pada COP Ke-13 Masnellyarti Hilman mengatakan, beberapa nama calon anggota delegasi sudah diajukan ke berbagai lembaga pemerintah. Pihaknya masih menunggu usulan nama dari departemen.

Beberapa lembaga itu, di antaranya Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perindustrian, Departemen Perhubungan, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.

"Materi pertemuan di Bali banyak sehingga perlu banyak anggota delegasi ikut pada pembahasan itu," kata Masnellyarti Hilman—yang juga menjabat Deputi Menneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan.

Nama-nama anggota delegasi harus dikirim ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 30 Oktober 2007.

Empat prioritas

Ada empat agenda prioritas delegasi RI, yaitu transfer teknologi, dana adaptasi, reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), serta skema penurunan emisi pascatahun 2012.

"Ada persoalan finansial dan investasi yang harus diikuti cermat. Bukan berarti yang lain tidak," kata Masnellyarti. Negosiasi juga berkisar institusi pengelola dana adaptasi dan transfer teknologi, serta diharapkan menyepakati adanya proyek percontohan REDD di negara berkembang.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad mengatakan, "Delegasi sebaiknya berisi mereka yang berkomitmen dan berintegritas tinggi."

Catatan LSM, Indonesia semestinya menekankan pada substansi menangani perubahan iklim, yakni reduksi emisi karbon sebanyak mungkin dan menggalang persatuan dengan negara- negara di kawasan selatan untuk menekan negara maju agar berkomitmen lebih keras.

Mereka juga mendorong agar target penurunan emisi karbon lima persen (2008-2012) pada Protokol Kyoto diperbesar. "Itu jauh lebih penting daripada prioritas jual beli karbon. Kalau negara berkembang akhirnya mendapat insentif, itu sebaiknya karena bonus, bukan tujuan utama," kata Chalid.

Read More......

Jumat, 26 Oktober 2007

Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim 23-25 Oktober 2007

Bogor, 25 Oktober 2005. Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim Informal (Ministerial Meeting on Climate Change) di Istana Bogor pada tanggal 24-25 Oktober. Pertemuan ini dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhono dan dihadiri oleh delegasi dari 35 Negara dan UNFCCC. Pertemuan ini dilakukan dalam rangka persiapan pertemuan tingkat tinggi atau konferensi antar pihak (COP 13) dari United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Konferensi dari Pertemuan antar pihak Protokol Kyoto (CMP 3) yang akan dilakukan di Bali pada tanggal 3 – 14 Desember 2007.

Dalam sambutannya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menghargai kehadiran dan mengajak seluruh delegasi untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim dengan menjadikan pertemuan ini sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dimulainya suatu proses di COP 13 yang dikenal sebagai Bali Road Map. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menambahkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah manusia dan tidak perlu diperdebatkan lagi seiring dengan keluarnya laporan IPCC keempat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menangani permasalahan ini dengan tegas, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional.

Sementara itu dalam sambutannya Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Rachmat Witoelar menyebutkan bahwa kehadiran Presiden RI menunjukkan betapa pentingnya pertemuan ini dan mendorong seluruh delegasi untuk melakukan yang terbaik dalam rangka persiapan Konferensi untuk Perubahan Iklim di Bali nanti.

Bertindak sebagai Pimpinan Pertemuan ini adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar. Rachmat Witoelar juga akan menjadi Presiden Konferensi Antar Pihak (COP) 13 UNFCCC di Bali Nanti. Pertemuan ini membahas tiga hal penting yaitu Building Blocks for a Future Framework, Delivering of the Building Block, and the Bali Road Map.

Kesepakatam umum dalam empat building blocks adalah memperluas kerangka pasca 2012 dan memberikan proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta isu khusus seperti deforestasi dan degradasi hutan.

Beberapa hal penting yang dihasilkan dalam pertemuan ini antara lain penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada, yaitu UNFCCC dan Protokol Kyoto; negara-negara Annex 1 tetap mengambil peran utama; dan tercapainya kesepakatan bahwa kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009 serta menjamin keberlanjutan CDM. Dalam konteks ini dibutuhkan konsensus yang lebih luas mengenai pentingnya Bali Road Map dalam rangka menuju kerangka pasca 2012 tersebut.

Read More......

Selasa, 23 Oktober 2007

Kapolda: Pelaku ”Illegal Logging” Terus Diburu

JAKARTA (RP)- Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi muncul di Bareskrim Mabes Polri, Senin (22/10) siang.
Orang nomor satu di Kepolisian Daerah (Polda) Riau, yang gencar melaksanakan operasi illegal logging di wilayahnya hingga menyulut kontroversi dengan Departemen Kehutanan itu mengaku, tidak akan surut langkah. Namun dia menolak menjelaskan agendanya ke Bareskrim Polri.

‘’Saya baru bertemu dengan Pak Hadiatmoko (Dir V Tipiter Bareskrim, red). Isinya tanya beliau saja, jangan saya. Semuanya satu pintu,’’ ujarnya sambil buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan menggenggam map warna biru. Saat ditanya, apakah agenda pertemuannya itu membahas tim gabungan yang diketuai Menko Polhukam? ‘’Bukan itu,’’ tegasnya

Seorang petinggi di lingkungan Mabes Polri mengatakan, polisi saat ini memang tengah menahan diri untuk berbuat lebih banyak dalam memberantas illegal logging. Pasalnya upaya polisi sering dianggap salah oleh pihak lain. ‘’Saat polisi menyikat praktik ilegal itu maka ada yang mengatakan kami menghambat ekonomi dan menciptakan pengangguran. Kami kini tahan diri di Riau sambil melihat kemana arahnya,’’ imbuhnya.

Namun Sutjiptadi membantah hal tersebut. Dia juga membantah jika pihaknya kini tidak lagi serius dalam menangani praktik yang merugikan negara triliunan rupiah pertahunnya itu. ‘’Kami tetap akan proses semua. Tapi jangan tanya saya silahkan tanya Pak Hadiatmoko,’’ janjinya.

Brigjen Pol Hadiatmoko yang dihubungi terpisah membantah adanya pertemuan dengan Sutjiptadi itu. ‘’Saya sedang di Kejaksaan Agung,’’ katanya.

Read More......

Rabu, 10 Oktober 2007

Hearing Illlegal Logging Panas

Indah Kiat Dicecar Soal Pembalakan Liar, RAPP Diusir Karena tak Siap Makalah
Jakarta, Tribune-Dengar pendapat atau hearing Komisi Energi, Iptek dan Lingkungan DPR dengan dua perusahaan bubur kertas (pulp) yang beroperasi di Riau berlangsung panas. Anggota dewan mencecar jajaran direksi PT Inda Kiat Pulp and Paper Tbk (IKPP) dan Pucuk pimpinan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), tentang pasokan bahan baku yang diduga berasal dari pembalakan liar yang kasusnya kini tengah diusut Polda Riau.

Dengar pendapat, Senin (8/10) kemaren, merupakan lanjutan dari agenda minggu lalu yang terkendala karena ketidaksiapan manajemen dua perusahaan bubur kertas (pulp) tersebut menjelaskan duduk persolan dugaan keterlibatan mereka dalam kasus illegal logging.

Presiden direktur IKPP Yudi Setiawan Lin, dalam penjelasannya di Gedung DPR membantah keras tuduhan itu. Menurutnya, perusahaannya memperoleh bahan baku dari kayu Bahan Baku Serpih (BBS) legal dan dari sumber sah. Ia menyebutkan, pada tahun 2006 lalu pasokan BBS dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola PT IKPP memang baru mencapai 55 persen dari total kebutuhan, dengan volume pasokan 4,839 juta ton. Sebanyak 3,892 juta ton BBS lainnya diperoleh dari kayu alam yang dipasok perusahaan mitra. Total pasokan BBS pada tahun ini mencapai 8,731 juta ton.

Namun, memasuki tahun 2007, sampai dengan bulan Agustus lalu komposisi pasokan BBS dari eks HTI kelolaannya meningkat menjadi 88 persen dengan volume pasokan BBS 4,655 juta ton. Sementara, BBS dari pihak ketiga yang berasal dari kayu alam hanya sekitar 12 persen dengan volume 633.625 ton. Total volume bahan baku kayu yang dipasok sejak januari sampai Agustus 2007 mencapai 5,288 juta ton. Ia juga mengklaim, rasio pasokan bahan baku pulp dari kayu alam sejak 2002 terus menurun.

Namun, direksi IKPP tetap tak luput dari cecaran DPR. Anggota dewan mengaku tak puas atas hasil presentasi peta pantauan luasan areal hutan konsesi IKPP yang memanfaatkan piranti peta digital google earth. “Permukaan hutan yang disajikan tidak sesuai dengan perkembangan sekarang” tuding Effendi Simbolon, anggota Komisi Energi, Iptek dan Lingkungan Hidup DPR. Direksi PT IKPP lainnya, G Sulistiyanto menyebutkan, luas areal HTI perusahaannya di Riau saat ini mencapai 663.352 hektare. Sementara luas areal konversi 273.559 hektare. Realisasi tanam selama tahun 2006 mencapai 282.361 hektare dan rencana tanam tahun ini di proyeksikan mencapai 54.575 hektare.

Selain menghadirkan direksi IKPP, rapat Komisi Energi DPR kemaren juga mendatngkan lagi pucuk pimpinan PT RAPP. Produsen bubur kertas terbessar di Indonesia yang berlokasi di Pelalawan.

Seperti kejadian pekan lalu, komisi ini menuding manajemen RAPP tak siap menyajikan presentasi di sidang DPR. Presentasi tentang bantahan keterlibtan RAPP dalam aktivitas pembaklakan liar di hutan alam Riau yang disajikan oleh pejabat level manajer RAPP, ditolak keras oleh DPR“Kita minta diretnya yang langsung memaparkan biar jelas”, tolak Ade Daud Nasution, anggota Komisi Energi DPR dengan nada tinggi. Paparan manajemen RAPP yang dihadiri langsung Dirut Rudy Fajar yang sebenarnya dilakukan lebih dulu sebelum paparan manajemen IKPP, itupun kemudian jadi mentah. Baru berjalan sekitar 15 menit, presentasi RAPP kemudian dihentikan oleh pimpinan siding, Sony Keraf.

“Sidang dengan RAPP kita putuskan ditunda. Kita minta direksi RAPP menyiapkan bahannya lebih matang lagi untuk presentasi minggu depan” kata Sony Keraf yang juga mantan Menneg Lingkungan hidup. Menerima keputusan itu seluruh tim direksi RAPP pun keluar meninggalkan ruangan. Rudy Fajar saat dimintai tanggapan usai hearing DPR menyatakan, pihaknya tidak punya keterlibatan dalam aktivitas pembalakan liar di Riau. “Sekarang proses hukumnya sedang berjalan. Kita ikuti dulu bagaimana perkembangannya. Pada prinsipnya kita siap menjelaskan lagi kepada DPR minggu depan”, ungkap Rudy Fajar

Read More......

Selasa, 09 Oktober 2007

Indonesia Ajukan Biaya Pelihara Hutan 5-20 Dollar AS

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, 3-14 Desember 2007 di Bali, akan menawarkan proposal pemeliharaan hutan hujan tropis Indonesia dan sejumlah negara lain, yang umumnya miskin, ke negara maju.

Proposal biaya yang akan diajukan 5-20 dollar Amerika Serikat (AS) per hektar. ”Hutan hujan tropis kita sekitar 40 juta hektar. Biaya yang kita minta itu untuk menjaga hutan agar tidak hancur. Kita meminta hak kita,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai rapat kabinet tentang persiapan konferensi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10).

Menurut Rachmat, negara yang akan dimintai kewajibannya adalah negara-negara maju, terutama di Eropa dan Amerika. Biaya pemeliharaan itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab negara maju terhadap perubahan iklim.

”AS, misalnya, menyumbang 40 persen dosa emisi dunia,” ujar Rachmat. AS menyatakan akan ikut konferensi yang akan diikuti sekitar 198 negara dengan lebih dari 10.000 peserta itu.

Pemerintah AS menyatakan tidak akan membuat pertemuan atau membuat jalur lain sebelum konferensi di Bali. Kepastian sikap AS didapat Rachmat saat diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Washington DC. ”Ini satu kemenangan besar bagi Indonesia,” ujarnya.

Dana yang dibutuhkan untuk konferensi internasional ini sekitar 70 juta dollar AS. Indonesia sebagai panitia penyelenggara menganggarkan dana 23 juta dollar AS, sekitar Rp 200 miliar.

”Konferensi di Bali diselenggarakan untuk mengganti Protokol Kyoto yang sementara ini ditolak AS. Kyoto Protokol akan habis 2012,” ujarnya.

Sejumlah menteri keuangan dari negara calon peserta Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali akan melakukan pertemuan pendahuluan November mendatang. Pertemuan itu akan membahas antara lain kompensasi kepada negara berkembang yang menghasilkan gas karbon untuk menyerap emisi gas buang dengan penghijauan kembali.

Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Emil Salim menambahkan, ”Ada pertemuan antara menteri keuangan semua negara peserta membahas carbon trading (perdagangan karbon), di mana sektor swasta akan masuk.”

Seperti Indonesia, tambah Emil, karbon (CO2) akan diserap oleh hutan di Indonesia. ”Yang membayarnya nanti adalah sektor swasta yang harus mengurangi pencemarannya. Tiap negara mempunyai batas-batas pengurangan emisi yang berbeda-beda,” tambah Emil.

Menurut Emil, pada tahun 2012, jumlah emisi dari setiap negara harus berada 5,4 persen di bawah level emisi CO2 pada tahun 1990.

”Pada tahun 1990 ke 2012, tentu terjadi pembangunan. Tetapi, pembangunan tidak boleh mengeluarkan C02. Bagaimana cara mencegahnya, selain dengan teknologi juga dengan membayar negara-negara berkembang untuk menyerap CO2, yaitu dengan cara penghutanan kembali,” kata Emil.

Memasuki periode tahun 2012, tambah Emil, pencemaran yang terjadi akan lebih besar lagi sebagai ekses pembangunan. Karena itu, diperlukan modal yang cukup besar selain juga teknologi. Namun, terlepas dari meminta ganti rugi, sebenarnya yang lebih penting adalah menjaga serta mengendalikan CO2. Itu yang lebih penting,” kata Emil menambahkan.

Read More......

Komisi VII DPR Sepakat ke Riau

JAKARTA (RP)- Merasa kurang percaya dengan data-data yang disampaikan PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP), Komisi VII DPR RI akhirnya memutuskan untuk turun langsung ke lapangan memastikan apakah perusahaan bubur kertas dan kertas terbesar di Asia Tenggara itu terlibat atau tidak dalam praktik illegal logging di Riau. Keputusan itu disepakati setelah Komisi VII menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT IKPP dan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP/Riaupulp) di Gedung DPR/MPR RI, kawasan Senayan, Jakarta, Senin (8/10).

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII Sonny Keraf (FPDIP) itu, IKPP berusaha menjawab pertanyaan tertulis yang telah disampaikan para anggota Komisi VII termasuk memberikan data-data untuk menglarifikasi bahwa IKPP tidak terlibat dalam praktik illegal logging sebagaimana ditudingkan banyak pihak. Bahkan, IKPP sudah mencoba memakai teknologi google, sebagaimana permintaan Komisi VII, untuk memantau dengan citra satelit areal HTI yang dimiliki. Sayangnya, hasil yang ditampilkan dinilai sudah tidak aktual lagi.

Di sisi lain, banyak di antara anggota Komisi VII yang kelihatan kurang mengerti dengan penjelasan yang disampaikan pihak IKPP. Apalagi kalau sudah terkait istilah-istilah dalam teknologi google. Sementara tudingan bahwa perusahaan Grup Sinar Mas yang

memiliki kapasitas produksi lebih-kurang 2 juta ton per tahun itu, seakan sudah pasti. Sehingga, hujan interupsi pertanda rasa tidak puas pun tak dapat dihindari.

Pimpinan rapat Sonny Keraf berkali-kali menegaskan bahwa Komisi VII pada prinsipnya ingin mengetahui berapa luas hutan tanaman yang dimiliki dan dari mana saja suplai bahan baku, sehingga penjelasan itu bisa meyakinkan Komisi VII bahwa IKPP memang tidak terlibat illegal logging.

Pihak IKPP yang dipimpin Presdir Yudi Setiawan Lin menjelaskan bahwa perusahaannya memiliki areal tanaman di Riau sekitar 390.000 hektare (netto). Di samping itu, IKPP juga membeli bahan baku dari mitra kerjanya. Sehingga, IKPP berusaha meyakinkan Komisi VII bahwa pihaknya sama sekali tidak terlibat illegal logging dan hanya menerima bahan baku kayu yang legal.

Apalagi, selama ini, IKPP sudah menerapkan sistem lacak balak yang diaudit oleh pihak ketiga, sehingga tidak mungkin IKPP menerima kayu-kayu ilegal.

Namun penjelasan IKPP tetap dirasa tidak memuaskan sehingga mayoritas anggota Komisi VII tetap belum yakin kalau perusahaan itu bebas dari praktik illegal logging. Beberapa anggota Komisi VII, seperti Effendi Simbolon (PDIP), Brur Maras (PD), Ade Daud Nasution (PBR) bahkan berkali-kali menuding perusahaan itu telah meluluhlantakkan hutan Riau. ‘’Kita sepakati saja agar perusahaan ini ditutup. Kita rekomendasikan saja begitu,’’ desak Brur Maras, dengan nada tinggi.

Mendapat desakan yang tidak mengenakkan itu, Presdir IKPP Yudi meminta agar Komisi VII jangan sampai mengeluarkan rekomendasi yang seperti itu. ‘’Kami ini datang justru minta bantuan kepada bapak-bapak, karena kami dituding sebagai pelaku illegal logging. Itulah sebabnya kami berusaha menjelaskan kepada bapak-bapak bahwa kami tidak terlibat,’’ ucap Yudi.

Melihat suasana rapat yang kurang kondusif dan banyak interupsi, pimpinan rapat Sonny Keraf akhirnya menawarkan kepada para anggota Komisi VII untuk turun ke lapangan mengecek langsung kebenaran apakah IKPP terlibat atau tidak praktik illegal logging. Tawaran itu pun disepakati. Namun kapan persisnya Komisi VII akan turun ke Riau, belum dipastikan. Selain itu, Komisi VII juga berencana memanggil semua pihak terkait, termasuk Tim Gabungan bentukan Presiden SBY untuk mendapat penjelasan yang lebih komprehensif terkait kasus illegal logging di Riau.

Riaupulp Ditunda Lagi
Sementara RDPU dengan Riaupulp terpaksa ditunda lagi karena Komisi VII merasa kecewa dengan keseriusan pihak Riaupulp dalam menyiapkan data-data yang diperlukan. Dalam RDPU itu, Riaupulp mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan paparan. Sayangnya, sejumlah anggota Komisi VII merasa belum menerima data-data yang diminta. Padahal, Komisi VII sejak awal sudah memerintahkan Riaupulp agar menyampaikan data-data yang diminta empat hari sebelum RDPU digelar.

Sementara Riaupulp baru menyampaikan data-data itu Senin (8/10) pagi kepada Komisi VII. ‘’Bagaimana kita bisa membaca dan mendalami data-data disampaikan kalau kita belum membacanya,’’ kritik Effendi Simbolon.

Effendi juga meminta agar Dirut Riaupulp Rudi Fajar bisa lebih menguasai berbagai persoalan dan data menyangkut perusahaan yang dipimpinnya. Sehingga, ketika RDPU dengan DPR, tidak perlu meminta bantuan kepada para bawahannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan anggota dewan.

Akibat kekecewaan itu, Komisi VII akhirnya meminta Riaupulp menyiapkan lagi data-data yang diminta, dan kemungkinan setelah Idul Fitri, Komisi VII akan menjadwalkan kembali RDPU dengan Riaupulp. Kepada wartawan, usai pertemuan Rudi Fajar membantah tudingan kalau selama ini Riaupulp terlibat illegal logging. Menurutnya, selama ini Riaupulp menyuplai bahan baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sendiri. Disamping itu, bahan baku yang diperoleh dari luar HTI Riaupulp pun didapatkan dengan cara yang legal.

Read More......

Sabtu, 06 Oktober 2007

PBB Persilakan Kaban Diperiksa

Kasus ”Illegal Logging” di Riau
JAKARTA (RP)- Ketua PBB Yusron Ihza Mahendra meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap Menhut MS Kaban terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus illegal logging di Riau.

Yusron yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR RI itu menegaskan, meski Kaban Ketua Umum PBB, namun pihaknya justru mendukung bila izin pemeriksaan terhadap Kaban segera dikeluarkan. ‘’Hukum itu harus berlaku bagi semua orang. Kalau memang Kaban terlibat, silahkan Presiden segera mengeluarkan izin pemeriksaannya,’’ tegas Yusron kepada Riau Pos saat menghadiri acara buka puasa di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan, Rabu (3/10) malam.

Yusron melihat, justru dengan berlarut-larutnya kasus illegal logging di Riau, nama baik Kaban ikut tercoreng karena dituding pihak kepolisian sebagai biang keladi kasus tersebut. Padahal, belum tentu tudingan itu benar.

‘’Kalau memang terbukti di mukapengadilan, silahkan masukkan Kaban ke penjara. Tapi kalau tidak, segera pulihkan nama baiknya,’’ pinta adik kandung Yusril Ihza Mahendra itu.

Yusron menilai, sikap para penegak hukum yang terlalu gembar-gembor dalam melakukan penyelidikan seringkali merusak nama baik pihak-pihak yang disebut-sebut terlibat, padahal belum tentu secara hukum terbukti.

‘’Saya tidak setuju dengan aparat hukum kita yang sering kali melempar sinyalemen kepada masyarakat, bicara kepada pers bahwa orang ini, pejabat ini diduga terlibat dan lain sebagainya,’’ kata dia.

Seharusnya, desak Yusron, bila memang para penegak hukum punya komitmen yang kuat dalam menegakkan hukum, tidak perlu dilakukan dengan gembar-gembor. ‘’Kalau memang ada bukti yang kuat, kumpulkan bukti itu, lalu ajukan ke pengadilan. Nggak perlu, baru sebatas diduga, tapi sudah ngomong ke mana-mana, berkoar-koar,’’ kritiknya.

Akhirnya, ucap Yusron, hukum tidak lagi ditegakkan untuk mencari keadilan, tapi sudah menjadi alat politik. Bahkan, bisa jadi masuk pihak ketiga untuk mencari keuntungan dari kasus tersebut. ‘’Hukum kalau sudah dijadikan alat politik, ini yang tidak benar. Nanti biasanya ada tebang pilih atau untuk menghabisi orang. Sudahlah, kita minta aparat penegak hukum jangan lagi begitu,’’ desaknya lagi.

Lebih jauh, Yusron menilai kasus penanganan illegal logging di Riau sudah terlalu lama terkatung-katung, sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Yusron mendesak Polda Riau untuk mengajukan semua pihak yang terlibat ke meja hijau. ‘’Kalau memang sudah cukup bukti, ajukan dong ke pengadilan. Jangan membuat ketidakpastian hukum. Ini juga tidak baik bagi dunia usaha,’’ sebutnya.

Bila memang akhirnya Presiden SBY mengeluarkan izin pemeriksaan bagi Kaban, apakah PBB akan menyiapkan pengacara khusus, Yusron mengatakan, bisa saja. ‘’Tapi itu terserah dia. Kalau pengacara itu, kan pilihan masing-masing,’’ jawabnya.

Menyinggung banyaknya komisi di DPR yang terlibat dalam menyikapi kasus illegal logging di Riau, Yusron mengatakan, itu tidak efektif. Sebaiknya, dibentuk saja Pansus tentang Illegal Logging yang tidak saja menangani kasus di Riau, tapi di seluruh Indonesia.

‘’Sebab, kan illegal logging itu tidak hanya di Riau, tapi juga ada di Papua, Kalimantan dan lainnya,’’ demikian Yusron.

Read More......

Kamis, 04 Oktober 2007

Diandalkan, 88 Juta Hektar Hutan

Forum Aliansi Antarnegara Mendesain Potensinya

Jakarta, Kompas - Luasan tutupan hutan yang potensial "diperdagangkan" terkait penyerapan emisi karbon mencapai 88 juta hektar. Data itulah yang akan digunakan ketika bernegosiasi untuk memperoleh subsidi dana dalam forum Konferensi Para Pihak Ke-13 Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim di Bali, 3-14 Desember 2007.

Data tersebut merupakan hasil studi citra landsat yang dilakukan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tahun 2005. "Luasan itu sangat potensial dan signifikan untuk ’diperdagangkan’ pada forum COP ke-13," kata Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan Kehutanan Sunaryo kepada pers di Jakarta, Rabu (3/10), tentang hutan andalan Indonesia.

Tutupan lahan itu, termasuk di antaranya kawasan hutan alam (hutan lindung masuk di dalamnya), hutan tanaman, dan kawasan perkebunan hasil konversi hutan alam. Adapun luas total kawasan hutan Indonesia, termasuk dengan vegetasi jarang, mencapai 120 juta hektar.

Sebelumnya, pihak Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan bahwa luas hutan dalam kondisi baik di seluruh Indonesia minimal mencapai 33 juta hektar. Seluas itu pula kawasan yang potensial memperoleh dana besar dari mekanisme internasional mencegah deforestasi.

Dengan asumsi perhitungan harga per hektar hutan kondisi bagus setara 10 dollar AS, seperti diungkapkan Menteri KLH Rachmat Witoelar, setidaknya dapat terkumpul dana 330 juta dollar AS. "Itu potensi dari perhitungan luasnya, belum harga karbonnya," katanya.

Potensi karbon

Untuk menghitung potensi karbon pada setiap jenis kawasan hutan dan lahan gambut, Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Bank Dunia serta beberapa negara, di antaranya Inggris dan Australia, membentuk forum Indonesia Forest Climate Alliance.

Forum itu secara khusus mendesain, membuat metodologi penghitungan potensi karbon dan model pengawasannya di setiap kawasan. Setidaknya, ada lima klasifikasi lanskap, masing-masing kawasan konservasi, hutan produksi, hutan industri, lahan gambut, dan kawasan yang dikonversi. "Tidak mungkin penghitungan selesai Desember. Namun, setidaknya Indonesia memiliki pilihan yang dapat ditawarkan," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan Dephut Wahjudi Wardojo.

Perhitungan karbon yang digunakan selama ini, setiap hektar hutan alam berpotensi menyerap 200-300 ton karbon. Hutan tanaman menyerap 100-150 ton karbon per hektar, sedangkan kawasan perkebunan menyerap 25-30 ton karbon per hektarnya.

"Kami ingin memperoleh hitungan terbaru dari kerja sama tadi. Soal harganya hingga kini memang belum ada kesepakatan dan pertemuan di Bali merupakan salah satu langkah awal," kata Wahjudi.

Read More......

Minggu, 30 September 2007

"Joint Statement" Cerminan Kepentingan Negara Pemilik Hutan Tropis

Inisiatif Presiden SBY untuk menyatukan negara-negara pemilik hutan tropis dunia mendapat sambutan positif. Pada 24 September 2007, sekitar pukul 11.00 waktu setempat, 11 negara mengumumkan bersama “Jpint Statement Tropical Rainforets Countries’ Leaders”. Lima Kepala Negara yang hadir dalam pertemuan tersebut adalah Presiden RI, Perdana Menteri Gabon, Perdana Menteri Papua New Guinea, Wakil Presiden Colombia dan Wakil Perdana Menteri Republik Congo. Enam negara lainnya diwakili oleh pejabat setingkat Menteri, yaitu: Brazil, Cameroon, Democratic Republic of Congo, Costa Rica, Mexico, dan Peru. Secara keseluruhan kesebelas negara ini merupakan pemilik separuh hutan tropis dunia. Para Kepala Negara tersebut berada di New York untuk menghadiri “High-Level Event on Climate Change” pada 24 September dan Sidang ke-62 Majelis Umum PBB (United Nations General Assembly) yang dibuka oleh Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pada 25 September 2007. Pada kesempatan tsb. Presiden didampingi oleh Menteri Luar Negeri, Menteri Sekretaris Kabinet, Emil Salim, Ali Alatas, dan WATAPRI/Duta Besar RI untuk PBB.

Joint Statement yang memuat 11 paragraf merupakan cerminan kepentingan Indonesia dan negara hutan tropis lainnya. Pentingnya hutan tropis dalam mengelola keseimbangan ekologis sebagai penyerap, sumber maupun penampung gas rumah kaca (GRK), disamping sebagai sumber kehidupan dan penyimpan warisan budaya mendapat perhatian khusus. Selain itu ditekankan pula peran ekosistem hutan yang merupakan penyedia jasa sebagai habitat berbagai macam species biologi, dan penyimpan sumber daya genetik bagi makanan, obat-obatan dan jasa lainnya.

Dalam kerangka peran hutan dalam perubahan iklim, Statement menekankan pentingya positive approach bagi usaha reducing emission from deforestation, degradataion and land use change dan peranan kawasa yang dilindungi (protected areas) sebagaimana kutipan paragraf berikut:

“…we call for mobilization of new and additional financial resources sufficient to implement non-restrictive policy approaches and positive incentives, under the UNFCCC, and other international fora, to support our voluntary efforts in reducing greenhouse gas emissions as well as enhancing sequestration through sustainable forest management and forest conservation, and increasing carbon sinks through afforestation and reforestation, including support for early action from 2008-2012 along with expanded activities post-2012. Furthermore, we call for protected areas to be given special consideration by the international community…”

Dalam berbagai kesempatan lain, yaitu pada Thematic Plenary dan Penutupan The High-Level Event on Climate Change Presiden RI menekankan beberapa pandangan berikut:

1. Diperlukannya penguasaan teknologi terkait dengan pengurangan emisi karbon oleh negara berkembang, diantaranya melalui kerjasama multilateral (terbentuknya Asia-Pasific Network for EnergyTechnology) dan kerjasama bilateral.
2. Inisiatif Indonesia dalam launching a special Leaders Meeting of Tropical Rainforest Countries untuk merumuskan proposal konstruktif dalam memperkuat peran hutan tropis dalam mengurangi pemanasan global.
3. Inisiatif Indonesia atas the Coral Triangle Initiative for Corals, Fisheries and Food Security, yang disupport oleh APEC. Inisiatif ini merupakan jawaban atas ancaman pemanasan air laut terhadap +. 5,7 juta km2 Coral Reef Triangle yang membentang meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, the Phillipines, PNG Timor Leste dan Solomon Islands.
4. Harapan terhadap dukungan dan suksesnya COP-13 UNFCCC di Bali untuk menghasilkan “a bold global decision addressing climate change without significantly jeopardizing development efforts”.

Persiapan penyelenggaran Forest-11 yang memakan waktu kurang dari satu bulan ini telah mampu membawa Indonesia, sebagai pemilik hutan tropis terbesar dunia setelah Brazil dan Republic Demokratik Congo (dahulu Zaire), mengambil peran politis yang aktif dan menonjol. Sudah selayaknya Indonesia harus memiliki suara lebih besar dan posisi tawar yang tinggi dalam kerjasama global. Jika suara Indonesia semakin didengar, maka akan mendapatkan manfaat konkret dalam kerjasama global, misalnya dalam bentuk kerjasama teknis ataupun transfer teknologi

Joint Statement.pdf

Read More......

Sabtu, 29 September 2007

Dunia Mengharapkan Indonesia

New York: Para pemimpin dan komunitas dunia berharap Konferensi Bali mengenai climate change, Desember mendatang, bisa merumuskan konsensus baru dan roadmap pasca berkahirnya Protokol Kyoto. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan hal itu dalam konperensi pers sebelum bertolak kembali ke Jakarta, di Kantor Perwakilan Tetap RI untuk PBB, New York, Kamis (27/9) pagi waktu setempat atau malam hari di Indonesia.

“Harapan para pemimpin dunia sangat tinggi terhadap Konferensi Bali. Memang ada dua pandangan yang berbeda mengenai hal ini. Sebagian menginginkan Konferensi Bali menghasilkan roadmap, yang nantinya akan diteruskan oleh Polandia dan Denmark sebagai tuan rumah setelah Indonesia,” kata Presiden SBY. Pandangan lain menginginkan cukup merumuskan consensus bersama.

Indonesia sebagai tuan rumah, lanjut Presiden SBY, masih akan mencermati hasil Pertemuan Washington yang dilaksanakan pada 27-28 September ini. Pertemuan yang digagas Presiden AS George W.Bush ini membahas soal perubahan ikilm dan pemanasan Global.

"Pertemuan Washington akan memberi kejelasan mengenai perbedaan antara Protokol Kyoto dan Washington. Pikiran-pikiran apa yang akan muncul, dan bagaimana kita akan menjembatani perbedaan itu," ujar Presiden SBY.

Usai memberi keterangan pers, Presiden dan rombongan langsung menuju Bandar International John F. Kennedy untuk kembali ke Jakarta. Perjalanan ini akan memakan waktyu sekitar 24 jam, melewati Vancouver (Kanada) dan Tokyo (Jepang). Presiden akan tiba di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta, pada Sabtu (29/9) sekitar pukul 03.00 WIB.

Read More......

Konferensi Bali Harus Berhasil

New York: Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Pertemuan ke-13 Negara-Negara Pihak dari Konvensi PBB mengenai Climate Change di Bali, Desember mendatang, harus berhasil. “Ini sudah menyangkut urusan Merah Putih, urusan Indonesia. Ini mempertaruhkan harga diri kita, standing kita,” kata Presiden pada acara buka bersama dan ramah tamah dengan tokoh masyarakat Indonesia, di Konsulat Jenderal RI, di New York, Amerika Serikat, Selasa (25/9) malam atau Kamis pagi di Jakarta.

PBB, ujar Presiden, telah menetapkan Indonesia sebagai tuan rumah perhelatan tersebut. “Ini sebuah kehormatan sekaligus tantangan. Maka tiada lain yang harus kita kerjakan selain harus berhasil,” SBY menambahkan.


Sebelumnya Presiden menguraikan jatuh-bangun diplomasi Indonesia di mata dunia. Tahun 1999, Indonesia pernah “disidang” dalam Sidang Dewan Keamanan PBB. Lalu, setahun kemudian, lagi-lagi kita dipersalahkan akibat insiden tewasnya tiga petugas PBB di Atambua. Saat itu PBB marah luar biasa dan Indonesia nyaris dikucilkan dunia. Ancaman embargo dan sangsi ekonomi.

Indonesia saat itu diwakili Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono dan Menlu Alwi Shihab. Harus menjawab semua tudingan tersebut. “Dalam keadaan seperti itu, saya taruh paper (naskah pidato; red) saya. Saya menjawab secara lisan dan langsung. Saya katakan saya tidak akan banyak membuat promise, saya akan berbuat. Silakan nanti melihat apa yang akan Indonesia perbuat,” kata SBY menceritakan kisah tersebut.

Pelan-pelan, dunia mulai mempercayai Indonesia. Tahun 2005, ketika Indonesia hadir kembali dalam Sidang Majelis Umum PBB, penilaian dunia mulai berubah. “Kali ini standing kita makin tinggi. Tahun-tahun terakhir ini diplomasi kita mendapat pengakuan internasional,” SBY menambahkan. Ada tujuh posisi di dalam organisasi PBB yang dipercayakan kepada Indonesia.

Pada Sidang ke-62 Majelis Umum PBB kali ini, peran yang diberikan kepada Indonesia cukup terhormat. Dan Desember mendatang, Indonesia menjadi tuan rumah konferensi PBB tentang perubahan iklim yang sangat diharapkan oleh masyarakat dunia. “Semua pemimpin dunia sangat berharap Konferensi Bali ini dapat membangun suatu kesepakatan global, membuat suatu road map, kerangka kerja baru untuk mengatasi perubahan iklim dan global warming. Jadi kita harus berhasil,” ujar SBY.

Acara buka bersama dan ramah tamah dihadiri oleh Dubes RI untuk AS Sudjadnan Parnohadiningrat, Wakil Tetap RI di PBB Marty Natalegawa, dan kelima Konsul Jenderal Indonesia di AS. Masing-masing konsultat mengajak seorang tokoh masyarakat Indonesia di wilayahnya. Sedangkan Presiden SBY didampingi Ibu Ani serta rombongan. Mereka, antara lain, Menko Kesra Aburizal Bakrie, Menlu Hassan Wirajuda, Menneg LH Rachmat Witoelar, Seskab Sudi Silalahi, Anggota Wantimpres Ali Alatas dan Emil Salim, serta dua Jubir Presiden, Dino Patti Djalal dan Andi A.Mallarangeng.

Read More......

Dunia Harus Bertindak Nyata

New York: Masyarakat dunia harus mulai bertindak nyata untuk menanggulangi masalah pemanasan global dan perubahan iklim. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menekankan hal tersebut dalam pidatonya di depan Sidang ke-62 Majelis Umum PBB, di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat, Selasa (25/9) siang waktu setempat.

“Kami mengundang masyarakat di seluruh dunia untuk mencari jalan keluar dari permasalahan global warming ini,” kata Presiden SBY, yang menyampaikan pandangannya selama sekitar 15 menit, setelah Presiden Iran Mahmood Ahmaddinejad.

ndonesia telah merasakan akibat dari perubahan iklim (climate change) tersebut. Bencana tsunami, banjir, tanah longsor, musim yang tak beraturan, dan meningkatnya suhu udara serta air laut terjadi akibat perubahan iklim. Gejala pemanasan global, kata Presiden, sudah harus menjadi keprihatinan semua bangsa-bangsa di dunia.

Presiden SBY kemudian menegaskan, bahwa masalah pemanasan global atau perubahan iklim ini dapat dibicarakan secara sungguh-sungguh dalam Pertemuan ke-13 Negara-Negara Pihak dari Konvensi PBB mengenai Climate Change di Bali, Desember mendatang. Konferensi ini akan dihadiri negara berkembang maupun negara maju. (har)

Read More......

Kamis, 27 September 2007

Hutan Riau 15 Tahun Lagi Habis


JAKARTA (RP)- Bila praktik illegal logging atau pembalakan liar terus terjadi di Riau, maka paling lama 15 tahun lagi hutan di Bumi Lancang Kuning akan ludes. Itulah sebabnya, aparat kepolisian sebagai penegak hukum tidak akan mundur selangkah pun untuk mengusut hingga tuntas kasus illegal logging yang terjadi di Riau. Penegasan itu disampaikan Kapolri Jenderal Pol Sutanto dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III DPR RI di Gedung DPR/MPR RI, kawasan Senayan, Jakarta, kemarin (17/9). Sutanto menyatakan hal itu menjawab desakan Wakil Ketua Komisi III DPR Suripto (FPKS) terkait kasus illegal logging di Riau. Dalam Raker tersebut, Suripto mendesak aparat kepolisian agar mengusut hingga tuntas praktik illegal logging di Riau.

Kapolri Sutanto mengatakan bahwa pihaknya konsisten untuk melakukan penegakan hukum menyangkut penanganan illegal logging. ‘’Hukum berjalan terus. Memang kalau dibiarkan, 15 tahun lagi hutan Riau akan habis,’’ sebut Sutanto sembari menegaskan bahwa alasan peningkatan kapasitas produksi bagi perusahaan tidak boleh menjadi alasan untuk meluluhlantakkan hutan Riau.

Ia melanjutkan, saat ini sedikitnya 14 perusahaan sedang disidik oleh Polda Riau karena diduga terlibat praktik illegal logging. Sayangnya, Sutanto tidak berkomentar banyak saat ditanya wartawan di sela-sela Raker terkait progress Tim Gabungan bentukan Presiden SBY untuk kasus illegal logging di Riau. ‘’Belum ada laporan. Tapi penegakan hukum terus berjalan,’’ katanya tanpa berkomentar lebih jauh.

Dalam pada itu, anggota Komisi III lainnya Agun Gunandjar Sudarsa (FPG) meminta aparat kepolisian agar tidak hanya berwacana dalam melakukan pemberantasan illegal logging. Menurut politisi Partai Golkar ini, sejauh ini apa yang dilakukan pihak kepolisian hanya sebatas menjadi berita di media massa. ‘’Padahal yang diperlukan masyarakat itu, bagaimana agar hutan itu tidak lagi ditebang. Tidak ada lagi penebangan liar itu. Kita minta apa yang dilakukan kepolisian ini tidak hanya menjadi berita di koran-koran, televisi, sementara pembalakan liar terus saja terjadi,’’kritiknya.

Di tempat terpisah, anggota Komisi IV DPR yang antara lain membidangi masalah kehutanan, Azwar Ces Putra menilai bahwa penutupan perusahaan bukanlah solusi terbaik. Justru akan mendatangkan masalah baru yang jauh lebih kompleks. ‘’Kalau ditutup, berapa ribu orang yang akan jadi pengangguran. Berapa besar kerugian yang akan diterima negara. Itu bukan solusi, tapi mendatangkan masalah baru,’’ tegas anggota DPR dari daerah pemilihan Riau ini.

Azwar menegaskan bahwa semua pihak mendukung upaya penegakan hukum yang dilakukan aparat kepolisian. Namun penegakan hukum tentu tidak dengan menutup perusahaan. Apalagi perusahaan itu punya izin yang legal dalam menjalankan usahanya. ‘’Yang salah silahkan ditindak sesuai aturan yang berlaku,’’ tegasnya lagi.

Sebelumnya, Menteri Perdagangan Fahmi Idris menjelaskan bahwa industri kertas dan bubur kertas termasuk kelompok industri dalam kelompok lima besar penyumbang ekspor nasional. Nilai ekspornya mencapai 3,98 miliar dolar AS dan menyumbang 6,05 persen total ekspor industri manufaktur pada 2006.

Nilai produksinya sendiri sebesar Rp46,54 triliun dan menyumbang 1,56 persen dari total output nonmigas. Saat ini di Indonesia terdapat 14 pabrik bubur kertas dan 79 pabrik kertas dengan kapasitas masing-masing 6,7 juta ton bubur kertas dan 10,36 juta ton kertas per tahunnya. Bila pabrik-pabrik kertas tersebut sampai gulung tikar, tentu akan mendatangkan kerugian yang tidak sedikit bagi negara.

Read More......

Konversi Lahan Harus Dihentikan

 
Dua Kubah Gambut Kampar Terancam Rusak


Pekanbaru, Kompas - Seluas 350.000 hektar atau separuh dari total luas Semenanjung Kampar, telah dirambah. Untuk itu, Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau, Universitas Riau, serta perwakilan komunitas setempat mengimbau penghentian konversi di hutan rawa gambut yang berfungsi sebagai kawasan serapan ini.

Semenanjung Kampar terletak di hilir Sungai Kampar, Provinsi Riau. Luas Semenanjung Kampar diperkirakan mencapai 700.000 hektar. "Kami mengimbau perusahaan kehutanan dan perkebunan yang sedang dan akan beroperasi di Semenanjung Kampar segera menghentikan konversi mengingat betapa dahsyatnya kerusakan akibat deforestasi di lanskap itu," ujar Susanto Kurniawan, koordinator Jikalahari, Rabu (6/6).

Ia menambahkan, pemerintah perlu bersikap tegas untuk meninjau ulang perizinan konversi yang telah dikeluarkan di Semenanjung Kampar. Selain kehilangan daerah serapan, konversi juga berkontribusi menyebabkan perubahan iklim global serta kerusakan lingkungan. Areal rawa gambut merupakan tempat yang baik untuk menyimpan zat karbon.

Wetlands International, Semenanjung Kampar dinilai memiliki kekayaan hutan rawa gambut serta keanekaragaman hayati. Selain itu, kawasan ini juga memiliki empat danau yang dilindungi sebagai suaka margasatwa serta sejumlah sungai yang dimanfaatkan oleh masyarakat tempatan.

Konversi lahan di Semenanjung Kampar dikhawatirkan akan memicu konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat tempatan.

Dari data Jikalahari, Riau merupakan provinsi yang memiliki lahan gambut terluas, 4,044 juta ha atau 56,1 persen dari 7,2 juta hektar lahan gambut di Sumatera. Semenanjung Kampar memiliki dua kubah gambut dengan kedalaman lebih dari 20 meter yang kini terancam rusak akibat konversi hutan. Padahal, pemerintah melarang pembukaan hutan di atas lahan gambut dengan kedalaman lebih dari 3 meter.

Ahli tumbuhan, Jonotoro, mengatakan, salah satu dampak yang mudah terlihat akibat konversi tidak ada lagi saling ketergantungan hidup tumbuhan dan satwa. "Di Kuala Kampar, hampir tidak pernah ada monyet yang menyerang tanaman padi masyarakat. Kini, monyet sudah masuk ke lahan pertanian masyarakat. Ini merupakan indikator rusaknya habitat hidup monyet di Semenanjung Kampar," tuturnya.
Posted by Picasa


Read More......

Rabu, 26 September 2007

KAMPAR PENINSULA WETLAND FOREST

 


Kampar Peninsula which located in east area of the province, in geograpic was located between 101° 50’ and 103° 07’ East Meridien also 0° 10’ dan 1° 14’ South Equator and administratively located between two district Siak District (38%) and Pelalawan District (62%). The area of Kampar Peninsula covering 5 villages which located in Siak District and 12 villages in Pelalawan District.

Kampar Peninsula was a wetland forest area contains of high natural resources variety as the wetland forest characteristic. The area in the width of 700,000 ha (based on the wetland area from research study of Wetlands International) included ; Wetland forest with 2 canopy of wetland with depth more than 20 meter, 4 conservation area they are Suaka Margasatwa (SM)/Animals Conservation(AC) Danau Pulau Besar, SM Tasik Belat, SM Tasik Metas, SM Tasik Serkap, Mangrove forest ecosystem in the south side area, has high potentiality (287 m3/ha). - 58 kind of plants 10 kinds are protected, 25 kind of animals, 7 are protected, and the average persentation of covering is about 76 %. Range of index variety of trees up to 3,0 with dominant variation index 0,04.
The width of wtland forest in Kampar Peninsula covering 17 % of the width from the whole wetland area in Riau Province (4,044 juta ha). Riau Province itself have the largest wetland forest in Indonesia for about 56,1 % from the total of 18,586 million ha wetland in Indonesia (source Guidance of Wetland Management). From this width it makes the area of Kampar District and Siak become very important because of the function of wetland forest.
Every conversion and wetland wxploitation will cause the release of carbon emission (CO2) which will polute the global environment because it bothering the table water system (hydrology system). If the emission from the wetland count the contribution for the climate change in the world, then Indonesia was suspect as the third largest country who produce carbon emission (CO2). The ability of wetland to absorb carbon in the average of 7 x 102 ton/ha/year but influence by the vegetation in it and the kinds of the wetland, the characteristic of wetland can save the water for about 15-20 from the dry mass of wetland.
Posted by Picasa


Read More......

Sumbangan Besar bagi Pertemuan Bali


New York, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, pertemuan di New York telah memberikan sumbangan besar untuk pertemuan di Bali, Desember mendatang. Ia berharap pertemuan- pertemuan mengenai perubahan iklim itu akan semakin menghasilkan langkah konkret yang bermanfaat bagi semua pihak. "Diharapkan pertemuan di Bali akan menghasilkan arahan (roadmap) bagi langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah perubahan iklim," ujar Yudhoyono dalam jumpa pers bersama Sekretaris Jenderal (Sekjen) Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon yang dihadiri puluhan wartawan, di New York, Senin (24/9) atau Selasa WIB.

Menurut Yudhoyono, satu hal penting yang diambil dalam pertemuan ini ialah langkah bersama untuk menuju ke konferensi Bali pada Desember 2007. "Hari ini telah tumbuh kesadaran umum akan realitas perubahan iklim dan harus dilakukan sesuatu untuk itu. Di Bali kita akan melihat ke masa depan dengan harapan lebih baik lagi," katanya

Menjawab pertanyaan wartawan, Yudhoyono menekankan perlunya kerja sama antara negara maju dan negara belum maju untuk menangani masalah perubahan iklim. Ia juga menekankan perlunya dana dan bantuan dari negara maju untuk membantu negara kurang maju, terutama negara-negara yang memiliki hutan tropis terbesar.

Sekjen PBB mengatakan, masalah perubahan iklim adalah masalah global yang perlu ditangani secara global. Dalam pembukaan Sidang Umum PBB, Ban mengatakan bahwa dunia saat ini menghadapi "rentetan tantangan yang mengkhawatirkan", mulai dari upaya memerangi pemanasan global, kemiskinan, sampai upaya mengakhiri konflik di Darfur, Sudan.

Pembicara pertama dalam Sidang Umum PBB adalah Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva, yang menekankan perubahan iklim harus segera diatasi dengan pemeliharaan lingkungan dan menyelaraskan kehidupan manusia dan alam. Pidato berikutnya disampaikan Presiden AS George W Bush yang banyak menyinggung soal penegakan HAM dan demokratisasi. Bush menunjuk beberapa negara, antara lain Myanmar, Kuba, dan Zimbabwe. Beberapa delegasi negara yang disebut kemudian meninggalkan ruang sidang.

Presiden Yudhoyono, sampai berita ini diturunkan, masih menunggu giliran berpidato yang dijadwalkan Rabu dini hari WIB. Ia sebelumnya akan menerima kunjungan Presiden Bank Dunia Robert B Zoellick. Sebelum pertemuan itu, Yudhoyono sempat menyampaikan harapannya kepada wartawan agar Bank Dunia jangan memaksakan program- programnya di Indonesia.

Read More......

Menegakkan Politik Lingkungan


Kecemasan adalah tema pokok berita utama Kompas kemarin (Senin, 24/9/2007). Laju perusakan hutan dan pesisir berjalan cepat, sementara laju rehabilitasinya tertatih-tatih terabaikan. Di tengah ancaman pemanasan global yang makin konkret, kita di Indonesia justru terus sibuk merusak lingkungan. Lingkungan hidup adalah isu mendasar yang terpinggirkan dalam simpang siur dan hiruk-pikuk isu politik permukaan. Benar, masa depan demokrasi perlu diperjuangkan dan program-program penyejahteraan sosial-ekonomi masyarakat perlu digalakkan. Namun, bisakah demokrasi dan kesejahteraan tegak di tengah punahnya daya topang ekologi? Jika jawabannya adalah tidak, lalu apa yang seyogianya kita lakukan? Izinkan saya masuk ke isu yang tak seksi tetapi sesungguhnya penting dan genting ini.

Kesadaran kasip
Lebih dari cukup alasan untuk mencemaskan kerusakan lingkungan sebagai persoalan pokok kita. Berbagai fakta dan data memilukan tentang kerusakan dan perusakan lingkungan dengan mudah kita deretkan. Beberapa bulan lalu Organisasi Pangan dan Pertanian melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jam!

Lembaga lain, yaitu UNEP/ GRID-Arendal, Mei lalu memublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950 Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005 Kalimantan sudah kehilangan 50 persen hijaunya. Pada 2020 diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25 persen) yang akan tertinggal di pulau ini. Sebuah gambar satelit menggambarkan perubahan Jakarta secara dramatis. Tahun 2010, permukaan air laut diestimasikan sudah makin merambah masuk ke daratan. Pada 2020, sebagian Bandara Soekarno-Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan, pada 2050, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional di pusat Ibu Kota.

Pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut yang diakibatkannya adalah ancaman konkret yang tak bisa dihindari. Majalah Time (edisi 1 Oktober 2007) memperlihatkan, lapisan es di Kutub Utara menyusut lebih dari 20 persen dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20 persen pada 2040. Saat itu Indonesia diestimasikan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam.
Fakta dan data bisa dibikin makin panjang. Namun, celakanya, sungguh sulit membuat kita tersadar akan ancaman kerusakan lingkungan beserta akibatnya itu. Umumnya kita memang punya kesadaran yang kasip—kesadaran yang datang secara terlambat.

Bahkan, setelah berbagai pintu perubahan terbuka lebar sejak hampir 10 tahun lalu, kita tetap terlelap dan tak memanfaatkan untuk menaikkan kepedulian dan aksi penyelamatan lingkungan. Akibatnya, sukses demokratisasi secara politik dan prosedural justru secara ironis berbanding terbalik dengan sukses pengelolaan lingkungan. Namun, tak ada kata kasip untuk memperbaiki langkah.

Pertobatan nasional

Bagaimanapun, kerusakan lingkungan bukanlah buatan alam atau kiriman Tuhan. Kerusakan lingkungan adalah buah tangan kita sendiri. Strategi dan pendekatan pembangunan yang kita kelola pun akhirnya gagal memenuhi tiga kriteria mendasar dalam pengelolaan ekologi. Pertama, kita membiarkan pemanfaatan "sumber daya alam terbarukan" melebihi laju regenerasinya. Misalnya, hutan kita eksploitasi habis-habisan sambil mengabaikan rehabilitasi dan penghijauan kembali. Kedua, kita membiarkan laju penipisan "sumber daya tak terbarukan" sambil tak menimbang pengembangan sumber daya substitusinya. Dalam konteks inilah minyak bumi kita eksploitasi sambil alpa menyiapkan sumber energi alternatif jauh-jauh hari. Ketiga, kita membiarkan produksi limbah yang melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Sampah, misalnya, kita produksi tanpa menimbang kemampuan lingkungan menyerap dan mengasimilasikannya.

Dengan kekeliruan mendasar dan struktural yang kita pelihara dalam rentang waktu yang lama, kerusakan lingkungan pun berjalan dalam deret ukur, sementara kemampuan kita memperbaiki kerusakan itu berjalan dalam deret hitung. Dalam kerangka ini, ancaman terhadap masa depan demokrasi dan peluang penyejahteraan sesungguhnya tidak datang dari kekeliruan strategi demokratisasi dan penyejahteraan itu. Ancaman terpokok datang dari sumber yang jauh lebih mendasar: kegagalan kita memelihara daya dukung ekologi bagi kelangsungan hidup umat manusia di atas permukaan Bumi.

Benar bahwa setiap orang punya sumbangan atas kerusakan lingkungan sekaligus punya potensi untuk memberi kontribusi bagi perbaikannya. Benar bahwa pada level aksi sehari-hari setiap orang bisa memberi sumbangan melalui aktivitas yang amat bersahaja (menghemat penggunaan listrik, kertas, dan segala hal yang bahan bakunya dieksploitasi dari hutan, mengelola sampah rumah tangga dengan saksama, dan lain-lain).

Namun, terlepas dari itu semua, perubahan pada level kebijakan dan penguatan kelembagaan lingkungan hidup (di pusat dan di daerah) sangat diperlukan sebagai fondasi bagi perubahan yang lebih bersifat struktural dan berdimensi jangka panjang.
Tanpa atau dengan menjadi penyelenggara Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (yang rencananya akan diadakan di Bali akhir tahun ini), pemerintah ditunggu untuk menegaskan bahwa mereka tak sekadar pidato dan mengimbau, tetapi benar-benar berbuat konkret. Sudah terlampau lama kita menunggu hal itu. Sebuah pertobatan nasional mutlak dibutuhkan. Di dalamnya, setiap orang melakukan pertobatannya sendiri-sendiri.

EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia

Read More......

Indonesia Harus Memiliki Posisi Tawar yang Lebih Baik


New York, Kompas - Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, Indonesia harus memiliki suara lebih besar dan posisi tawar yang lebih baik dalam kerja sama global mengatasi perubahan iklim. Hal itu dinyatakan Presiden Yudhoyono di Hotel Millenium UN Plaza, New York, Minggu (23/9) malam atau Senin waktu Jakarta. Menurut Presiden, Indonesia memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia setelah Brasil dan sumber maritim cukup besar. Namun, Indonesia juga dianggap sebagai penyumbang karbon dioksida karena sering terjadi kebakaran hutan. "Kita sendiri juga menyadari telah menderita akibat global warming, seperti adanya berbagai bencana di Tanah Air," katanya.


Jika suara Indonesia semakin didengar, kata Presiden, negara ini akan mendapatkan keuntungan yang konkret dalam kerja sama global, misalnya dalam bentuk fund (dana) ataupun transfer teknologi untuk mengelola dampak perubahan iklim. Presiden mengharapkan perjalanannya dengan sejumlah delegasi, yang disebutnya sebagai Indonesia Incorporated itu, tidak sia-sia. "Perjalanan ini harus cucuk (bahasa Jawa, artinya hasilnya sesuai dengan jerih payah). Jadi, ini harus sukses," ujarnya.

Perubahan iklim menjadi tema utama Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dan terkait erat dengan pertemuan tentang perubahan iklim di Bali, Desember mendatang. "Merah Putih harus berkibar di dunia dari pertemuan di Bali itu," ujar Yudhoyono.
Dalam perdebatan seputar perubahan iklim, Presiden menegaskan posisi Indonesia yang moderat dan tidak konfrontatif. Apabila ada polemik mengenai hal ini, lanjutnya, Indonesia akan berusaha membangun jembatan. "Indonesia menganggap pembangunan penting, tapi juga tetap mengadakan pelestarian alam dan lingkungan hidup," ujarnya.

Sepanjang Senin waktu New York, Presiden mengadakan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Denmark Anders Fogh Rasmussen, Perdana Menteri Irak Nouri Kamil al-Maliki, dan Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan. Hari Selasa waktu New York, Presiden menghadiri pembukaan Sidang Ke-62 Majelis Umum PBB serta melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden Brasil Luiz Inacio Lula da Silva.

Read More......

Benahi Pengelolaan Hutan


Menhut: Sudah Coba Diturunkan
Samarinda, Kompas - Meski diakui sudah ada upaya mengurangi laju kerusakan hutan, sejumlah kalangan menilai upaya itu belum serius. Pembalakan liar, perambahan hutan, konversi untuk pertambangan dan perkebunan masih terus terjadi. Oleh karena itu, pemerintah diminta membenahi pengelolaan hutan. Demikian rangkuman tanggapan dari sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi, Senin (24/9), berkaitan dengan terus berlangsungnya penghancuran lingkungan di tengah isu pemanasan global.

Di Jakarta, Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban mengakui, kerusakan hutan sudah berlangsung lama. Untuk itu, pemerintah sejak tiga tahun terakhir terus berupaya menurunkan laju kerusakan hutan dengan segala cara. Cara-cara yang dilakukan di antaranya membatasi jatah produksi tebangan (JPT) hutan alam dan mengurangi pemberian izin hak pengusahaan hutan (HPH). Menurut Menhut, JPT hanya diizinkan sekitar 10 persen dari jumlah kayu bulat yang dibutuhkan industri kayu 40 juta-50 juta meter kubik per tahun.

Departemen Kehutanan (Dephut) juga tengah menggenjot investasi hutan tanaman industri (HTI) di kawasan hutan produksi yang tidak produktif lagi serta melarang industri pulp dan kertas mengonsumsi bahan baku dari hutan alam mulai tahun 2009. Langkah tersebut saat ini membuat realisasi HTI telah mencapai 3,5 juta hektar. "Kami juga terus mengampanyekan hutan tanaman rakyat agar warga yang bermukim di sekitar hutan bisa sejahtera," kata Kaban. Salah satu program yang sudah berjalan adalah pengembangan kepompong atau kokon sutra alam untuk masyarakat di sekitar hutan yang terintegrasi dengan industri sutra senilai Rp 13,7 miliar.

Sementara itu, Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial Dephut Darori mengungkapkan, sejak diluncurkan tahun 2003, program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) telah terealisasi 1,5 juta hektar. Pada tahun 2007 Dephut mengalokasikan dana sebesar Rp 4,3 triliun untuk merehabilitasi 900.000 hektar lahan yang rusak. "Mulai tahun ini semua kegiatan ditangani pemerintah daerah dan dievaluasi oleh tim penilai independen dari universitas. Namun, Gerhan tak bisa diandalkan untuk mengejar laju kerusakan hutan. Karena itu, kami terus mengajak masyarakat agar mau menjaga hutan," kata Dahrori.

Salah kaprah
Di Samarinda, Kepala Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman Chandradewana Boer menyatakan, salah satu penyebab terus berlangsungnya penghancuran lingkungan, khususnya hutan, adalah adanya anggapan bahwa hutan boleh terus-menerus dieksploitasi. Akibatnya, hanya sedikit kawasan hutan untuk pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, penegakan hukum ibarat mandul ketika berhadapan dengan para perusak lingkungan.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur Isal Wardhana bahkan lebih tegas menuding kebijakan yang salah arah sebagai penyebab terus berlangsungnya kerusakan hutan.

Perluasan perkebunan, pertambangan (termasuk di hutan lindung), dan HTI, katanya, justru menghancurkan lingkungan. Banyak izin untuk HTI dan perkebunan yang diberikan ternyata di areal hutan alam yang masih bagus, bukan di lahan kritis. Bahkan, tidak jarang, pengusaha HTI hanya menebang dan tidak menanam atau menanam di sebagian areal saja. Terhadap pengusaha yang nakal seperti itu, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Abdurrani Muin, mendesak pemerintah agar serius memberikan sanksi. Kalau perlu, izin HTI dan juga HPH-nya dicabut saja.

Penegakan hukum
Di Riau, upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar oleh polisi belum sepenuhnya bisa menghentikan praktik pembalakan liar. Akan tetapi, harus diakui bahwa upaya itu membuat laju kerusakan hutan jauh lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sekarang yang ditunggu masyarakat adalah tindak lanjut dari penanganan kasus itu di tingkat pengadilan.

Read More......

Selasa, 25 September 2007

12 Negara Bersatu Atasi Soal Hutan


COP-13 Momentum Penting Pendanaan Kehutanan
Jakarta, Kompas - Dua belas negara yang memiliki hutan hujan tropis sepakat bersatu
mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk mengurangi emisi karbon akibat rusaknya hutan dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim global. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memimpin Pertemuan Khusus Tingkat Tinggi Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis di Gedung PBB di New York, Amerika Serikat, 24 September 2007 mendatang. "Pertemuan ini di antaranya untuk meningkatkan posisi tawar dalam Konferensi para Pihak ke-13 (COP-13) di Bali, Desember mendatang," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada wartawan seusai penutupan Workshop Jurnalis Lingkungan "Perubahan Iklim dan Pemanasan Global" di Jakarta, Selasa (18/9).
Dua belas negara atau disebut Forest 12 (F12), yaitu Indonesia, Brasil, Kosta Rika, Kamerun, Kolombia, Gabon, Malaysia, Kongo, Republik Demokratik Kongo, Meksiko, Papua Niugini, dan Peru. Sebelumnya, hanya delapan negara yang tergabung. Wetlands International menobatkan Indonesia di peringkat ketiga setelah AS dan China dalam
jumlah emisi CO2. Sumbangan terbesar emisi karbon oleh Indonesia, yaitu dari hutan. Selain itu, Greenpeace juga memosisikan Indonesia sebagai perusak hutan nomor satu di dunia. Skema yang ditawarkan adalah reforestasi-konversi lahan bukan hutan menjadi hutan kembali dengan penanaman dan sebagainya pada lahan bukan hutan yang sebelumnya adalah hutan, dan aforestasi-konversi lahan yang 50 tahun terakhir bukan hutan menjadi hutan. Negara-negara F12 akan mengajukan skema mencegah dehutanisasi melalui langkah-langkah konservasi hutan seperti hutan lindung. Menurut rencana, seusai pertemuan di sela-sela Sidang Umum PBB itu F12 akan mengeluarkan beberapa pernyataan bersama.

Pengelolaan berkelanjutan
Pernyataan itu bisa dibagi dua, komitmen para 12 negara sendiri dan ajakan kepada dunia untuk bersama-sama mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pengentasan kaum miskin, dan memberikan kontribusi dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk finalisasi draf pernyataan bersama, Duta Besar RI untuk PBB akan mengadakan berbagai pertemuan dengan utusan negara-negara yang diundang. Komitmen bersama yang dibangun adalah memperkuat ikatan persahabatan dan kerja sama antarpemerintah pemilik hutan hujan tropis, serta kesepakatan untuk memastikan bahwa persoalan hutan bisa masuk ke dalam Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pascatahun 2012—batas Protokol Kyoto.
Ke-12 negara tersebut antara lain juga berencana membuat Plan of Action yang sama. Mereka juga akan mengajak dunia untuk menyadari pentingnya keberadaan hutan hujan tropis. Hingga tahun 2012, skema pembiayaan terkait pengurangan dampak perubahan iklim disusun melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Namun, skema itu dianggap rumit dan kurang mengadopsi fungsi penting dari hutan hujan tropis. Seperti diungkapkan Rachmat, berdasarkan perhitungan harga per hektar hutan dalam keadaan baik senilai 10 dollar AS, Indonesia berpeluang memperoleh dana kompensasi untuk upaya mencegah dehutanisasi senilai 370 juta dollar AS per tahun.
"Belum termasuk pembiayaan hutan dengan standar di bawah itu yang bisa mendapat lebih kecil dari 5 dollar AS," katanya. Menurut Rachmat, dana tersebut baru bisa turun jika dana itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. "Dengan komitmen seperti itu, maka akan muncul sikap efisien dalam menggunakan dana," tambahnya. Menurut Rachmat, Brasil—yang selama ini dipandang sebagai "pesaing" Indonesia—sudah merasa nyaman dengan langkah F12.
Dikatakan Rachmat, pertemuan di Bali mendatang amat penting untuk memastikan langkah
berikut, khususnya untuk skema pascatahun 2012. Berhati-hati Dalam workshop jurnalis dengan narasumber Harry Suryadi dari Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) ditegaskan, pemberitaan atau penulisan soal pemanasan global dan perubahan
iklim harus dilakukan secara berhati-hati. Fakta-fakta terkait dengan cuaca tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan perubahan iklim karena untuk menetapkan sebuah perubahan iklim membutuhkan waktu puluhan tahun, lebih dari 30 tahun.
Kalangan pers juga menyadari bahwa isu lingkungan selama ini secara umum selalu kalah
populer oleh isu politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan keamanan. Padahal, menurut seorang peserta, Budiyati Abiyoga, isu lingkungan ini sebenarnya strategis untuk mengubah perilaku orang per orang terkait dengan penyelamatan kondisi lingkungan secara keseluruhan, termasuk mengurangi emisi karbon, misalnya dengan tidak banyak menggunakan AC dan berperilaku hemat energi.

Read More......

Senin, 24 September 2007

High Level Meeting of Tropical Rainforest Countries (TRC)


Pada tanggal 24 September di Gedung PBB, New York Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, mempimpin Pertemuan Khusus Tingkat Tinggi Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis. Selain Indonesia, berbagai negara diundang untuk menghadiri pertemuan tersebut, yaitu: Brazil, Cameroon, Costa Rica, Columbia, Congo, DR Congo, Gabon, Malaysia, Mexico, Papua New Guinea dan Peru.
Pada pertemuan tersebut ditandatangani Pernyataan Bersama (Joint Statement) dengan tujuan mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan guna mendukung pencapaian pertumbuhan , ekonomi berkelanjutan, pembangunan berkelanjutan, dan pengentasan Kerniskinan dan secara bersamaan rnemberikan kontribusi terhadap usaha usaha dunia dalam mengurangi dampak perubahan iklim dan stabilisasi iklim global.

Isi Pernyataan Bersama tersebut antara lain meliputi:
• Penekanan bahwa hutan hujan tropis merupakan sumber kehidupan dan tempat warisan budaya sejumlah orang, sedangkan ekosistemnya merupakan habitat untuk beragam spesies biologi dan penyimpanan sumberdaya genetika untuk, pangan, obat-obatan dan berbagai produk untuk kelangsungan hidup manusia.
• Pernyataan bahwa hutan hujan tropis merupakan penyeimbang carbon budget di dunia sebagai sink dan sources.
• Kekuatiran bahwa deforestasi degradasi hutan dan perubahan tata guna lahan akan meningkatkan emisi gas rumah kaca.
• Kesepakatan untuk mengurangi emisi melalui tindakan yang sesuai dengan pengelolaan hutan berkelanjutan, pengentasan kemiskinan dan konservasi keanekarajaman, hayati.
• Meminta adanya pendekatan kebijakan dan insentif positif untuk mendukung setiap langkah dalam mengurangi emisi gas rumah kaca,
• Memutuskan untuk, menentukan daerah hutan'' hujan tertentu sebagai daerah dilindungi (protected, areas) yang perlu diperhatikan oleh komunitas internasional
• Komitmeh memperkuat ikatan persahabatan dan kerja sama antar pemerintah dan rakyat Topical Rain Forest Countries serta mengembangkan roadmap pembangunan berkelanjutan
• Persetujuan untuk mempromosikan kemitraan dan Kerjasama di berbagai bidang antara lain pengembangan kapasitas, penelitian, dan mobilisasi sumber dana
• Komitmen untuk berkejasama ke arah suksesnya Pertemuan COP 13 UNFCCC dan CMP 3 Protokol Kyoto di Bali dengan Indonesia sebagai tuan rumah
• Kesepakatan untuk memastikan bahwa permasalahan hutan akan masuk dalam kerangka kerja perubahan iklim post-2012 yang komprehensif.

Disamping pernyataan di atas, juga disampaikan lampiran yang berisi usaha-usaha yang telah dilakukan berbagai negara di bidang kehutanan, seperti United Nations Forum on Forests, United Nations Convention on Biodiversity, Coalition of Rainforest, Ramsar Convention, dan World Conservation Union. Juga akan dicantumkan program konkrit yang akan dilaksanakan bersama.
Kantor Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York dibawah pimpinan Dubes RI/Watapri untuk PBB akan mengadakan berbagai pertemuan dengan permanent mission negara-negara yang diundang, khususnya dalam finalisasi Draft Pernyataan Besama.
Persiapan Pertemuan Tropical Rain Forest Countries' dilaksanakan oleh Departemen Luar Negeri, Departemen Kehutanan, Sekretariat Negara, Kementerian Negara Riset dan Teknologi, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kantor Staf Khusus Presiden Bidang Hubungan Internasional dengan Menteri Negara Lingkungan Hidup, Rachmat Witoelar, sebagai koordinator.

Sumber:
Asdep Edukasi Komunikasi

Read More......

Jumat, 21 September 2007

Pertemuan Negara-Negara Pemilik Hutan Hujan Tropis


Jakarta (ANTARA News) - "Forestry 8" (F8), sebuah langkah diplomasi global untuk menciptakan kerjasama menanggulangi pemanasan global, yang dicetuskan oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, mendapat tambahan dukungan hingga total menjadi 12 negara.

"Awalnya cuma delapan negara yang menyatakan bersedia bergabung, tapi sekarang sudah bertambah jadi 12, yaitu dari Meksiko, Peru, Kolombia, dan Republik Demokratik Kongo," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, kepada ANTARA, di Jakarta, Rabu.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa Pemerintah Indonesia sangat mendukung pertambahan anggota F8, karena semakin banyak negara yang bergabung, maka posisi tawar forum kerjasama ini akan semakin besar.

Sebagai latar belakang, "Forestry 8" telah dibahas di Istana Tapaksiring, Gianyar, Bali, oleh Presiden Yudhoyono pada 31 Agustus lalu.

Setelah pertemuan berakhir, Jurubicara kepresidenan Dino Patti Jalal menjelaskan bahwa "Negara yang mempunyai hutan hujan tropis memiliki peranan sangat strategis, karena sekitar 25 persen dari emisi global berasal dari negara-negara yang memiliki hutan akibat penggundulan hutan, pembalakan liar, kebakaran lahan/hutan dan sebagainya."

Indonesia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis di dunia merasa terpanggil untuk melakukan suatu inisiatif, yaitu mengadakan suatu pertemuan antara negara-negara hutan hujan tropis pada bulan September di New York, kata Dino.

"Negara-negara yang akan kita prioritaskan, yaitu negara-negara yang berada 10 derajat di utara Khatulistiwa dan 10 derajat di selatan garis Khatulistiwa. Ini secara fisik adalah negara-negara yang mempunyai hutan hujan tropis," katanya melanjutkan.

Dengan bergabungnya empat negara tadi, total negara pemilik hutan hujan tropis yang bersepakat akan melestarikan hutannya adalah 12 negara (F12); Indonesia, Brasil, Kosta Rika, Kamerun, Kolombia, Gabon, Malaysia, Kongo, Republik Demokratik Kongo, Meksiko, Papua Nugini, dan Peru.

"Posisi tawar negara-negara pemilik hutan tropis akan semakin besar dalam program UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change). Kita akan lebih mungkin mengajukan suatu usulan karena posisi kita lebih kuat secara bersama-sama," kata Rachmat.

Masih menurut Rachmat, forum yang diperkirakan masih bertambah anggotanya ini akan menjadi ajang berbagi kemampuan dan kapasitas dalam upaya melestarikan hutan sebagai penyelamat terakhir dunia dari perubahan iklim.

"Masing-masing negara anggota akan mentransfer kemampuan dan kelebihan mereka," kata Rachmat.

Ketika ditanya adakah target jumlah negara yang diharapkan menyokong usulan Indonesia ini, menteri menjawab, "Tidak ada target."

Presiden pimpin KTT khusus
Presiden Yudhoyono sendiri dijadwalkan akan memimpin Pertemuan Khusus Tingkat Tinggi Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis di Markas Besar PBB, di New York, Amerika Serikat, pada 24 September 2007 mendatang.

"Pertemuan ini bertujuan salah satunya untuk meningkatkan posisi tawar dalam Konferensi para Pihak ke-13 (COP-13) di Bali, Desember mendatang," kata Rachmat menegaskan.

Negara-negara yang bergabung dalam gagasan Indonesia itu juga akan mengajukan skema mencegah deforestasi melalui langkah-langkah konservasi hutan seperti hutan lindung.

Menurut rencana, seusai pertemuan di sela-sela Sidang Umum PBB negara F12 akan mengeluarkan beberapa pernyataan bersama terkait dengan upaya serta desakan mereka dalam hal pelestarian hutan dunia. (*)

Read More......