Menhut: Sudah Coba Diturunkan
Samarinda, Kompas - Meski diakui sudah ada upaya mengurangi laju kerusakan hutan, sejumlah kalangan menilai upaya itu belum serius. Pembalakan liar, perambahan hutan, konversi untuk pertambangan dan perkebunan masih terus terjadi. Oleh karena itu, pemerintah diminta membenahi pengelolaan hutan. Demikian rangkuman tanggapan dari sejumlah aktivis lingkungan dan akademisi, Senin (24/9), berkaitan dengan terus berlangsungnya penghancuran lingkungan di tengah isu pemanasan global.
Di Jakarta, Menteri Kehutanan (Menhut) MS Kaban mengakui, kerusakan hutan sudah berlangsung lama. Untuk itu, pemerintah sejak tiga tahun terakhir terus berupaya menurunkan laju kerusakan hutan dengan segala cara. Cara-cara yang dilakukan di antaranya membatasi jatah produksi tebangan (JPT) hutan alam dan mengurangi pemberian izin hak pengusahaan hutan (HPH). Menurut Menhut, JPT hanya diizinkan sekitar 10 persen dari jumlah kayu bulat yang dibutuhkan industri kayu 40 juta-50 juta meter kubik per tahun.
Departemen Kehutanan (Dephut) juga tengah menggenjot investasi hutan tanaman industri (HTI) di kawasan hutan produksi yang tidak produktif lagi serta melarang industri pulp dan kertas mengonsumsi bahan baku dari hutan alam mulai tahun 2009. Langkah tersebut saat ini membuat realisasi HTI telah mencapai 3,5 juta hektar. "Kami juga terus mengampanyekan hutan tanaman rakyat agar warga yang bermukim di sekitar hutan bisa sejahtera," kata Kaban. Salah satu program yang sudah berjalan adalah pengembangan kepompong atau kokon sutra alam untuk masyarakat di sekitar hutan yang terintegrasi dengan industri sutra senilai Rp 13,7 miliar.
Sementara itu, Direktur Jenderal Rehabilitasi dan Perhutanan Sosial Dephut Darori mengungkapkan, sejak diluncurkan tahun 2003, program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) telah terealisasi 1,5 juta hektar. Pada tahun 2007 Dephut mengalokasikan dana sebesar Rp 4,3 triliun untuk merehabilitasi 900.000 hektar lahan yang rusak. "Mulai tahun ini semua kegiatan ditangani pemerintah daerah dan dievaluasi oleh tim penilai independen dari universitas. Namun, Gerhan tak bisa diandalkan untuk mengejar laju kerusakan hutan. Karena itu, kami terus mengajak masyarakat agar mau menjaga hutan," kata Dahrori.
Salah kaprah
Di Samarinda, Kepala Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman Chandradewana Boer menyatakan, salah satu penyebab terus berlangsungnya penghancuran lingkungan, khususnya hutan, adalah adanya anggapan bahwa hutan boleh terus-menerus dieksploitasi. Akibatnya, hanya sedikit kawasan hutan untuk pelestarian keanekaragaman hayati. Selain itu, penegakan hukum ibarat mandul ketika berhadapan dengan para perusak lingkungan.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kalimantan Timur Isal Wardhana bahkan lebih tegas menuding kebijakan yang salah arah sebagai penyebab terus berlangsungnya kerusakan hutan.
Perluasan perkebunan, pertambangan (termasuk di hutan lindung), dan HTI, katanya, justru menghancurkan lingkungan. Banyak izin untuk HTI dan perkebunan yang diberikan ternyata di areal hutan alam yang masih bagus, bukan di lahan kritis. Bahkan, tidak jarang, pengusaha HTI hanya menebang dan tidak menanam atau menanam di sebagian areal saja. Terhadap pengusaha yang nakal seperti itu, Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak Abdurrani Muin, mendesak pemerintah agar serius memberikan sanksi. Kalau perlu, izin HTI dan juga HPH-nya dicabut saja.
Penegakan hukum
Di Riau, upaya penegakan hukum terhadap pelaku pembalakan liar oleh polisi belum sepenuhnya bisa menghentikan praktik pembalakan liar. Akan tetapi, harus diakui bahwa upaya itu membuat laju kerusakan hutan jauh lebih lambat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sekarang yang ditunggu masyarakat adalah tindak lanjut dari penanganan kasus itu di tingkat pengadilan.
|