Selasa, 25 September 2007

12 Negara Bersatu Atasi Soal Hutan


COP-13 Momentum Penting Pendanaan Kehutanan
Jakarta, Kompas - Dua belas negara yang memiliki hutan hujan tropis sepakat bersatu
mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan, termasuk mengurangi emisi karbon akibat rusaknya hutan dalam rangka mengurangi dampak perubahan iklim global. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akan memimpin Pertemuan Khusus Tingkat Tinggi Negara-negara Pemilik Hutan Hujan Tropis di Gedung PBB di New York, Amerika Serikat, 24 September 2007 mendatang. "Pertemuan ini di antaranya untuk meningkatkan posisi tawar dalam Konferensi para Pihak ke-13 (COP-13) di Bali, Desember mendatang," kata Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar kepada wartawan seusai penutupan Workshop Jurnalis Lingkungan "Perubahan Iklim dan Pemanasan Global" di Jakarta, Selasa (18/9).
Dua belas negara atau disebut Forest 12 (F12), yaitu Indonesia, Brasil, Kosta Rika, Kamerun, Kolombia, Gabon, Malaysia, Kongo, Republik Demokratik Kongo, Meksiko, Papua Niugini, dan Peru. Sebelumnya, hanya delapan negara yang tergabung. Wetlands International menobatkan Indonesia di peringkat ketiga setelah AS dan China dalam
jumlah emisi CO2. Sumbangan terbesar emisi karbon oleh Indonesia, yaitu dari hutan. Selain itu, Greenpeace juga memosisikan Indonesia sebagai perusak hutan nomor satu di dunia. Skema yang ditawarkan adalah reforestasi-konversi lahan bukan hutan menjadi hutan kembali dengan penanaman dan sebagainya pada lahan bukan hutan yang sebelumnya adalah hutan, dan aforestasi-konversi lahan yang 50 tahun terakhir bukan hutan menjadi hutan. Negara-negara F12 akan mengajukan skema mencegah dehutanisasi melalui langkah-langkah konservasi hutan seperti hutan lindung. Menurut rencana, seusai pertemuan di sela-sela Sidang Umum PBB itu F12 akan mengeluarkan beberapa pernyataan bersama.

Pengelolaan berkelanjutan
Pernyataan itu bisa dibagi dua, komitmen para 12 negara sendiri dan ajakan kepada dunia untuk bersama-sama mempromosikan pengelolaan hutan berkelanjutan guna mendukung pencapaian pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, pengentasan kaum miskin, dan memberikan kontribusi dalam upaya mengurangi dampak perubahan iklim. Untuk finalisasi draf pernyataan bersama, Duta Besar RI untuk PBB akan mengadakan berbagai pertemuan dengan utusan negara-negara yang diundang. Komitmen bersama yang dibangun adalah memperkuat ikatan persahabatan dan kerja sama antarpemerintah pemilik hutan hujan tropis, serta kesepakatan untuk memastikan bahwa persoalan hutan bisa masuk ke dalam Kerangka Kerja PBB tentang Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) pascatahun 2012—batas Protokol Kyoto.
Ke-12 negara tersebut antara lain juga berencana membuat Plan of Action yang sama. Mereka juga akan mengajak dunia untuk menyadari pentingnya keberadaan hutan hujan tropis. Hingga tahun 2012, skema pembiayaan terkait pengurangan dampak perubahan iklim disusun melalui mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanism/CDM). Namun, skema itu dianggap rumit dan kurang mengadopsi fungsi penting dari hutan hujan tropis. Seperti diungkapkan Rachmat, berdasarkan perhitungan harga per hektar hutan dalam keadaan baik senilai 10 dollar AS, Indonesia berpeluang memperoleh dana kompensasi untuk upaya mencegah dehutanisasi senilai 370 juta dollar AS per tahun.
"Belum termasuk pembiayaan hutan dengan standar di bawah itu yang bisa mendapat lebih kecil dari 5 dollar AS," katanya. Menurut Rachmat, dana tersebut baru bisa turun jika dana itu dimanfaatkan sebaik-baiknya. "Dengan komitmen seperti itu, maka akan muncul sikap efisien dalam menggunakan dana," tambahnya. Menurut Rachmat, Brasil—yang selama ini dipandang sebagai "pesaing" Indonesia—sudah merasa nyaman dengan langkah F12.
Dikatakan Rachmat, pertemuan di Bali mendatang amat penting untuk memastikan langkah
berikut, khususnya untuk skema pascatahun 2012. Berhati-hati Dalam workshop jurnalis dengan narasumber Harry Suryadi dari Masyarakat Jurnalis Lingkungan Indonesia (SIEJ) ditegaskan, pemberitaan atau penulisan soal pemanasan global dan perubahan
iklim harus dilakukan secara berhati-hati. Fakta-fakta terkait dengan cuaca tidak bisa secara langsung dikaitkan dengan perubahan iklim karena untuk menetapkan sebuah perubahan iklim membutuhkan waktu puluhan tahun, lebih dari 30 tahun.
Kalangan pers juga menyadari bahwa isu lingkungan selama ini secara umum selalu kalah
populer oleh isu politik, ekonomi, hukum, dan pertahanan keamanan. Padahal, menurut seorang peserta, Budiyati Abiyoga, isu lingkungan ini sebenarnya strategis untuk mengubah perilaku orang per orang terkait dengan penyelamatan kondisi lingkungan secara keseluruhan, termasuk mengurangi emisi karbon, misalnya dengan tidak banyak menggunakan AC dan berperilaku hemat energi.