Kecemasan adalah tema pokok berita utama Kompas kemarin (Senin, 24/9/2007). Laju perusakan hutan dan pesisir berjalan cepat, sementara laju rehabilitasinya tertatih-tatih terabaikan. Di tengah ancaman pemanasan global yang makin konkret, kita di Indonesia justru terus sibuk merusak lingkungan. Lingkungan hidup adalah isu mendasar yang terpinggirkan dalam simpang siur dan hiruk-pikuk isu politik permukaan. Benar, masa depan demokrasi perlu diperjuangkan dan program-program penyejahteraan sosial-ekonomi masyarakat perlu digalakkan. Namun, bisakah demokrasi dan kesejahteraan tegak di tengah punahnya daya topang ekologi? Jika jawabannya adalah tidak, lalu apa yang seyogianya kita lakukan? Izinkan saya masuk ke isu yang tak seksi tetapi sesungguhnya penting dan genting ini.
Kesadaran kasip
Lebih dari cukup alasan untuk mencemaskan kerusakan lingkungan sebagai persoalan pokok kita. Berbagai fakta dan data memilukan tentang kerusakan dan perusakan lingkungan dengan mudah kita deretkan. Beberapa bulan lalu Organisasi Pangan dan Pertanian melansir sebuah hasil riset yang menempatkan Indonesia sebagai perusak hutan tercepat di dunia. Laju kerusakan hutan kita, menurut data itu, adalah 2 persen atau 1,87 juta hektar per tahun. Dengan kata lain, 51 kilometer persegi hutan kita rusak setiap hari atau 300 kali lapangan sepak bola setiap jam!
Lembaga lain, yaitu UNEP/ GRID-Arendal, Mei lalu memublikasikan perubahan wajah Pulau Kalimantan dalam enam dekade ke belakang dan satu setengah dekade ke depan. Pada tahun 1950 Kalimantan nyaris dipenuhi hijau hutan. Tahun 2005 Kalimantan sudah kehilangan 50 persen hijaunya. Pada 2020 diestimasikan bahwa hanya sedikit warna hijau (sekitar 25 persen) yang akan tertinggal di pulau ini. Sebuah gambar satelit menggambarkan perubahan Jakarta secara dramatis. Tahun 2010, permukaan air laut diestimasikan sudah makin merambah masuk ke daratan. Pada 2020, sebagian Bandara Soekarno-Hatta sudah mulai tergenangi air laut. Bahkan, pada 2050, permukaan air laut sudah mengancam kawasan Monumen Nasional di pusat Ibu Kota.
Pemanasan global dan kenaikan permukaan air laut yang diakibatkannya adalah ancaman konkret yang tak bisa dihindari. Majalah Time (edisi 1 Oktober 2007) memperlihatkan, lapisan es di Kutub Utara menyusut lebih dari 20 persen dalam 25 tahun terakhir. Pencairan es ini akan terus berlangsung hingga tinggal sekitar 20 persen pada 2040. Saat itu Indonesia diestimasikan kehilangan lebih dari 2.000 pulaunya yang tenggelam.
Fakta dan data bisa dibikin makin panjang. Namun, celakanya, sungguh sulit membuat kita tersadar akan ancaman kerusakan lingkungan beserta akibatnya itu. Umumnya kita memang punya kesadaran yang kasip—kesadaran yang datang secara terlambat.
Bahkan, setelah berbagai pintu perubahan terbuka lebar sejak hampir 10 tahun lalu, kita tetap terlelap dan tak memanfaatkan untuk menaikkan kepedulian dan aksi penyelamatan lingkungan. Akibatnya, sukses demokratisasi secara politik dan prosedural justru secara ironis berbanding terbalik dengan sukses pengelolaan lingkungan. Namun, tak ada kata kasip untuk memperbaiki langkah.
Pertobatan nasional
Bagaimanapun, kerusakan lingkungan bukanlah buatan alam atau kiriman Tuhan. Kerusakan lingkungan adalah buah tangan kita sendiri. Strategi dan pendekatan pembangunan yang kita kelola pun akhirnya gagal memenuhi tiga kriteria mendasar dalam pengelolaan ekologi. Pertama, kita membiarkan pemanfaatan "sumber daya alam terbarukan" melebihi laju regenerasinya. Misalnya, hutan kita eksploitasi habis-habisan sambil mengabaikan rehabilitasi dan penghijauan kembali. Kedua, kita membiarkan laju penipisan "sumber daya tak terbarukan" sambil tak menimbang pengembangan sumber daya substitusinya. Dalam konteks inilah minyak bumi kita eksploitasi sambil alpa menyiapkan sumber energi alternatif jauh-jauh hari. Ketiga, kita membiarkan produksi limbah yang melebihi kemampuan asimilasi lingkungan. Sampah, misalnya, kita produksi tanpa menimbang kemampuan lingkungan menyerap dan mengasimilasikannya.
Dengan kekeliruan mendasar dan struktural yang kita pelihara dalam rentang waktu yang lama, kerusakan lingkungan pun berjalan dalam deret ukur, sementara kemampuan kita memperbaiki kerusakan itu berjalan dalam deret hitung. Dalam kerangka ini, ancaman terhadap masa depan demokrasi dan peluang penyejahteraan sesungguhnya tidak datang dari kekeliruan strategi demokratisasi dan penyejahteraan itu. Ancaman terpokok datang dari sumber yang jauh lebih mendasar: kegagalan kita memelihara daya dukung ekologi bagi kelangsungan hidup umat manusia di atas permukaan Bumi.
Benar bahwa setiap orang punya sumbangan atas kerusakan lingkungan sekaligus punya potensi untuk memberi kontribusi bagi perbaikannya. Benar bahwa pada level aksi sehari-hari setiap orang bisa memberi sumbangan melalui aktivitas yang amat bersahaja (menghemat penggunaan listrik, kertas, dan segala hal yang bahan bakunya dieksploitasi dari hutan, mengelola sampah rumah tangga dengan saksama, dan lain-lain).
Namun, terlepas dari itu semua, perubahan pada level kebijakan dan penguatan kelembagaan lingkungan hidup (di pusat dan di daerah) sangat diperlukan sebagai fondasi bagi perubahan yang lebih bersifat struktural dan berdimensi jangka panjang.
Tanpa atau dengan menjadi penyelenggara Konferensi Internasional tentang Perubahan Iklim (yang rencananya akan diadakan di Bali akhir tahun ini), pemerintah ditunggu untuk menegaskan bahwa mereka tak sekadar pidato dan mengimbau, tetapi benar-benar berbuat konkret. Sudah terlampau lama kita menunggu hal itu. Sebuah pertobatan nasional mutlak dibutuhkan. Di dalamnya, setiap orang melakukan pertobatannya sendiri-sendiri.
EEP SAEFULLOH FATAH Direktur Eksekutif Sekolah Demokrasi Indonesia
|