Reduksi Karbon Dikhawatirkan Justru Pinggirkan Masyarakat Hutan
Jakarta, Kompas - Seiring pembahasan tentang perubahan iklim, pemerintah diharapkan tidak terjebak pada mekanisme jual beli karbon yang juga akan dibahas di Bali, 3-14 Desember 2007. Selain mengalihkan dari soal utama, mereduksi karbon, mekanisme itu dikhawatirkan justru semakin meminggirkan masyarakat hutan.
"Pembahasan soal jual beli karbon ujung-ujungnya tak lebih dari soal dagang global seperti selama ini. Komoditasnya saja yang beda dan itu sering kali merugikan bangsa kita," kata Puji Sumedi Hanggarawati dari Tim Kampanye Forum Civil Society untuk Keadilan Iklim (CSF) yang dihubungi pada Minggu (28/10).
Forum yang digagas tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut kini beranggotakan 30 LSM. Mereka menyuarakan harapan komunitas lokal yang sudah dan akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim, termasuk mekanisme yang akan diputuskan yang mengatasnamakan reduksi emisi karbon.
Menurut Puji, daripada menghabiskan energi pada soal jual beli karbon, pemerintah semestinya benar-benar mengakomodasi suara komunitas lokal. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat terbesar dari seluruh mekanisme yang dibahas.
"Indonesia harus memiliki posisi tawar model adaptasi alam. Bahwa masyarakat hutan pun dapat mengelola hutan tetap lestari, sekalipun mereka mengambil manfaat dari sana. Hal itu harus diperhitungkan dan dinegosiasikan," kata dia.
Masyarakat hutan dikhawatirkan akan terpinggirkan dari tanah leluhurnya. "Bagaimana mereka mengusahakan hutannya secara adat seperti awalnya bila ada konsesi?" katanya.
Kini CSF makin bergiat mendampingi masyarakat lokal agar memahami perubahan iklim, dampaknya, termasuk hak-hak mereka. "Kami berjuang agar masyarakat tetap dapat mengakses dan mengontrol hutan mereka," kata Puji, yang juga Manajer Advokasi Kebijakan Publik Kehati.
Ketua Delegasi RI Emil Salim menyatakan, menuju protokol baru pascatahun 2012 harus jelas sejak pertemuan di Bali. Jadi, perlu disepakati langkah-langkah seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.
Menanggapi semangat global mekanisme jual beli karbon, sebanyak 10 LSM memberi catatan khusus pada pertemuan pendahuluan pra-Konvensi Para Pihak ke-13 di Bogor akhir pekan lalu. Mereka mendesak agar legitimasi mekanisme baru terkait adaptasi harus lebih tinggi dibandingkan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.
Salah satu isu yang berkembang, seluruh mekanisme pembiayaan karbon yang sedang dibahas tidak akan disetujui bila bertentangan dengan mekanisme WTO dan Bank Dunia. Mereka berkepentingan menjaga "bisnis"-nya di negara-negara berkembang dan miskin.
Jakarta, Kompas - Seiring pembahasan tentang perubahan iklim, pemerintah diharapkan tidak terjebak pada mekanisme jual beli karbon yang juga akan dibahas di Bali, 3-14 Desember 2007. Selain mengalihkan dari soal utama, mereduksi karbon, mekanisme itu dikhawatirkan justru semakin meminggirkan masyarakat hutan.
"Pembahasan soal jual beli karbon ujung-ujungnya tak lebih dari soal dagang global seperti selama ini. Komoditasnya saja yang beda dan itu sering kali merugikan bangsa kita," kata Puji Sumedi Hanggarawati dari Tim Kampanye Forum Civil Society untuk Keadilan Iklim (CSF) yang dihubungi pada Minggu (28/10).
Forum yang digagas tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut kini beranggotakan 30 LSM. Mereka menyuarakan harapan komunitas lokal yang sudah dan akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim, termasuk mekanisme yang akan diputuskan yang mengatasnamakan reduksi emisi karbon.
Menurut Puji, daripada menghabiskan energi pada soal jual beli karbon, pemerintah semestinya benar-benar mengakomodasi suara komunitas lokal. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat terbesar dari seluruh mekanisme yang dibahas.
"Indonesia harus memiliki posisi tawar model adaptasi alam. Bahwa masyarakat hutan pun dapat mengelola hutan tetap lestari, sekalipun mereka mengambil manfaat dari sana. Hal itu harus diperhitungkan dan dinegosiasikan," kata dia.
Masyarakat hutan dikhawatirkan akan terpinggirkan dari tanah leluhurnya. "Bagaimana mereka mengusahakan hutannya secara adat seperti awalnya bila ada konsesi?" katanya.
Kini CSF makin bergiat mendampingi masyarakat lokal agar memahami perubahan iklim, dampaknya, termasuk hak-hak mereka. "Kami berjuang agar masyarakat tetap dapat mengakses dan mengontrol hutan mereka," kata Puji, yang juga Manajer Advokasi Kebijakan Publik Kehati.
Ketua Delegasi RI Emil Salim menyatakan, menuju protokol baru pascatahun 2012 harus jelas sejak pertemuan di Bali. Jadi, perlu disepakati langkah-langkah seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.
Menanggapi semangat global mekanisme jual beli karbon, sebanyak 10 LSM memberi catatan khusus pada pertemuan pendahuluan pra-Konvensi Para Pihak ke-13 di Bogor akhir pekan lalu. Mereka mendesak agar legitimasi mekanisme baru terkait adaptasi harus lebih tinggi dibandingkan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.
Salah satu isu yang berkembang, seluruh mekanisme pembiayaan karbon yang sedang dibahas tidak akan disetujui bila bertentangan dengan mekanisme WTO dan Bank Dunia. Mereka berkepentingan menjaga "bisnis"-nya di negara-negara berkembang dan miskin.
|