Bogor, Kompas - Rencana pengajuan kompensasi bagi Indonesia dalam menjaga dan mencegah kerusakan hutan melalui program Reducing Emission from Deforestation in Developing Country mendapat dukungan dari Inggris yang menganggap program tersebut masuk akal.
Itu antara lain yang dikemukakan Menteri Muda Lingkungan Departemen Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Phil Woolas MP dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (25/10).
Menurut Woolas, pasar karbon yang kini muncul sejalan dengan kebutuhan untuk menyediakan platform yang lebih luas lagi bagi negara berkembang.
"Kami ada pada situasi menyadari tanggung jawab kami, dari negara seperti Inggris. Kami juga menyadari kesulitan ekonomi di negara-negara pemilik hutan utama," ujarnya.
"Kami juga memikirkan ada pasar baru. Dapatkah kita melakukannya dengan cara itu untuk melindungi hutan? Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Kita bisa melihat ini sebagai kesempatan besar. Jika Indonesia dibayar dalam upayanya menjaga hutan, maka setiap pihak diuntungkan," tambahnya.
Wolaas menegaskan, program itu masuk akal. "Dan, deforestasi bukanlah hal yang bisa kami kritik dari Indonesia," kata Wolaas.
"Negara kami telah membabat hutan kami ribuan tahun lalu. Kami bersalah. Jadi kita harus membangun mekanisme yang fair soal pendanaan untuk memberikan kontribusi kepada dunia seperti transfer sumber daya untuk melindungi hutan. Itu situasi win-win," ujarnya. Masalah kehutanan dan deforestasi merupakan isu utama dalam persoalan perubahan iklim.
Adaptasi masih sulit
Menyinggung masalah adaptasi dan mitigasi, Woolas mengatakan, penyediaan dana untuk kedua isu tersebut memang masih sulit dan masih terus dicari terobosan guna menambah persediaan dana untuk itu.
Dia memberikan ilustrasi, "Kami di UK (United Kingdom-Inggris) tahun ini mengalami banjir terburuk sepanjang sejarah sejak 1766. Tinggi air mencapai sekitar 8 meter lebih tinggi dari ketinggian normal," katanya. Dengan kondisi seperti itu, lalu bagaimana menetapkan kebijakan untuk membangun perlindungan? "Berapa batas amannya? Kalau membangun dinding tiga kaki, ternyata tinggi air lebih dari tiga kaki bagaimana," katanya.
"Itu kebijakan yang cukup sulit. Di Bali nanti harus dipikirkan lagi bagaimana menyediakan dana adaptasi yang lebih besar karena (dampak) ini dihadapi oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Ini benar-benar problem. Adaptasi dan mitigasi saat ini menjadi masalah," ujarnya.
Dia menggarisbawahi bahwa impak perubahan iklim terutama di bidang pertanian. Dampak ikutannya yaitu kemiskinan akan semakin luas. Dampak itu menimpa negara di berbagai belahan bumi, misalnya Indonesia, Kenya (kehilangan dua pertiga kebun tehnya), serta Inggris sendiri. "Di Bali nanti pada intinya kami akan membahas detail soal pembangunan berkelanjutan," katanya.
Woolas mengatakan, Inggris memberikan komitmen mengurangi emisi CO>sub<2>res<>res< hingga 12,5 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990 hingga 2012, ternyata tetap menikmati pertumbuhan ekonomi 27 persen 10 tahun terakhir dan sekaligus berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 7 persen. "Demikian juga Swedia. Ini dicapai hanya dengan mengubah teknik produksi," jelasnya.
Bagaimana memberikan teknologi ini kepada negara-negara lain di dunia? "Ini merupakan tanggung jawab negara-negara Barat, yaitu menyediakan pendanaan. Sekarang ada 4,6 triliun dollar dan akan ditambah lagi. Kita juga harus mendapat sumber daya dari sektor swasta untuk transfer teknologi," tambahnya.
Soal menjawab persoalan perubahan iklim, menurut dia, "Kita harus membangun sistem ekonomi dan politik yang aman bagi manusia, yaitu ’melakukannya dengan cara bersih’," katanya.
Itu antara lain yang dikemukakan Menteri Muda Lingkungan Departemen Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Phil Woolas MP dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (25/10).
Menurut Woolas, pasar karbon yang kini muncul sejalan dengan kebutuhan untuk menyediakan platform yang lebih luas lagi bagi negara berkembang.
"Kami ada pada situasi menyadari tanggung jawab kami, dari negara seperti Inggris. Kami juga menyadari kesulitan ekonomi di negara-negara pemilik hutan utama," ujarnya.
"Kami juga memikirkan ada pasar baru. Dapatkah kita melakukannya dengan cara itu untuk melindungi hutan? Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Kita bisa melihat ini sebagai kesempatan besar. Jika Indonesia dibayar dalam upayanya menjaga hutan, maka setiap pihak diuntungkan," tambahnya.
Wolaas menegaskan, program itu masuk akal. "Dan, deforestasi bukanlah hal yang bisa kami kritik dari Indonesia," kata Wolaas.
"Negara kami telah membabat hutan kami ribuan tahun lalu. Kami bersalah. Jadi kita harus membangun mekanisme yang fair soal pendanaan untuk memberikan kontribusi kepada dunia seperti transfer sumber daya untuk melindungi hutan. Itu situasi win-win," ujarnya. Masalah kehutanan dan deforestasi merupakan isu utama dalam persoalan perubahan iklim.
Adaptasi masih sulit
Menyinggung masalah adaptasi dan mitigasi, Woolas mengatakan, penyediaan dana untuk kedua isu tersebut memang masih sulit dan masih terus dicari terobosan guna menambah persediaan dana untuk itu.
Dia memberikan ilustrasi, "Kami di UK (United Kingdom-Inggris) tahun ini mengalami banjir terburuk sepanjang sejarah sejak 1766. Tinggi air mencapai sekitar 8 meter lebih tinggi dari ketinggian normal," katanya. Dengan kondisi seperti itu, lalu bagaimana menetapkan kebijakan untuk membangun perlindungan? "Berapa batas amannya? Kalau membangun dinding tiga kaki, ternyata tinggi air lebih dari tiga kaki bagaimana," katanya.
"Itu kebijakan yang cukup sulit. Di Bali nanti harus dipikirkan lagi bagaimana menyediakan dana adaptasi yang lebih besar karena (dampak) ini dihadapi oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Ini benar-benar problem. Adaptasi dan mitigasi saat ini menjadi masalah," ujarnya.
Dia menggarisbawahi bahwa impak perubahan iklim terutama di bidang pertanian. Dampak ikutannya yaitu kemiskinan akan semakin luas. Dampak itu menimpa negara di berbagai belahan bumi, misalnya Indonesia, Kenya (kehilangan dua pertiga kebun tehnya), serta Inggris sendiri. "Di Bali nanti pada intinya kami akan membahas detail soal pembangunan berkelanjutan," katanya.
Woolas mengatakan, Inggris memberikan komitmen mengurangi emisi CO>sub<2>res<>res< hingga 12,5 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990 hingga 2012, ternyata tetap menikmati pertumbuhan ekonomi 27 persen 10 tahun terakhir dan sekaligus berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 7 persen. "Demikian juga Swedia. Ini dicapai hanya dengan mengubah teknik produksi," jelasnya.
Bagaimana memberikan teknologi ini kepada negara-negara lain di dunia? "Ini merupakan tanggung jawab negara-negara Barat, yaitu menyediakan pendanaan. Sekarang ada 4,6 triliun dollar dan akan ditambah lagi. Kita juga harus mendapat sumber daya dari sektor swasta untuk transfer teknologi," tambahnya.
Soal menjawab persoalan perubahan iklim, menurut dia, "Kita harus membangun sistem ekonomi dan politik yang aman bagi manusia, yaitu ’melakukannya dengan cara bersih’," katanya.
|