Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, 3-14 Desember 2007 di Bali, akan menawarkan proposal pemeliharaan hutan hujan tropis Indonesia dan sejumlah negara lain, yang umumnya miskin, ke negara maju.
Proposal biaya yang akan diajukan 5-20 dollar Amerika Serikat (AS) per hektar. ”Hutan hujan tropis kita sekitar 40 juta hektar. Biaya yang kita minta itu untuk menjaga hutan agar tidak hancur. Kita meminta hak kita,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai rapat kabinet tentang persiapan konferensi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10).
Menurut Rachmat, negara yang akan dimintai kewajibannya adalah negara-negara maju, terutama di Eropa dan Amerika. Biaya pemeliharaan itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab negara maju terhadap perubahan iklim.
”AS, misalnya, menyumbang 40 persen dosa emisi dunia,” ujar Rachmat. AS menyatakan akan ikut konferensi yang akan diikuti sekitar 198 negara dengan lebih dari 10.000 peserta itu.
Pemerintah AS menyatakan tidak akan membuat pertemuan atau membuat jalur lain sebelum konferensi di Bali. Kepastian sikap AS didapat Rachmat saat diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Washington DC. ”Ini satu kemenangan besar bagi Indonesia,” ujarnya.
Dana yang dibutuhkan untuk konferensi internasional ini sekitar 70 juta dollar AS. Indonesia sebagai panitia penyelenggara menganggarkan dana 23 juta dollar AS, sekitar Rp 200 miliar.
”Konferensi di Bali diselenggarakan untuk mengganti Protokol Kyoto yang sementara ini ditolak AS. Kyoto Protokol akan habis 2012,” ujarnya.
Sejumlah menteri keuangan dari negara calon peserta Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali akan melakukan pertemuan pendahuluan November mendatang. Pertemuan itu akan membahas antara lain kompensasi kepada negara berkembang yang menghasilkan gas karbon untuk menyerap emisi gas buang dengan penghijauan kembali.
Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Emil Salim menambahkan, ”Ada pertemuan antara menteri keuangan semua negara peserta membahas carbon trading (perdagangan karbon), di mana sektor swasta akan masuk.”
Seperti Indonesia, tambah Emil, karbon (CO2) akan diserap oleh hutan di Indonesia. ”Yang membayarnya nanti adalah sektor swasta yang harus mengurangi pencemarannya. Tiap negara mempunyai batas-batas pengurangan emisi yang berbeda-beda,” tambah Emil.
Menurut Emil, pada tahun 2012, jumlah emisi dari setiap negara harus berada 5,4 persen di bawah level emisi CO2 pada tahun 1990.
”Pada tahun 1990 ke 2012, tentu terjadi pembangunan. Tetapi, pembangunan tidak boleh mengeluarkan C02. Bagaimana cara mencegahnya, selain dengan teknologi juga dengan membayar negara-negara berkembang untuk menyerap CO2, yaitu dengan cara penghutanan kembali,” kata Emil.
Memasuki periode tahun 2012, tambah Emil, pencemaran yang terjadi akan lebih besar lagi sebagai ekses pembangunan. Karena itu, diperlukan modal yang cukup besar selain juga teknologi. Namun, terlepas dari meminta ganti rugi, sebenarnya yang lebih penting adalah menjaga serta mengendalikan CO2. Itu yang lebih penting,” kata Emil menambahkan.
Proposal biaya yang akan diajukan 5-20 dollar Amerika Serikat (AS) per hektar. ”Hutan hujan tropis kita sekitar 40 juta hektar. Biaya yang kita minta itu untuk menjaga hutan agar tidak hancur. Kita meminta hak kita,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai rapat kabinet tentang persiapan konferensi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10).
Menurut Rachmat, negara yang akan dimintai kewajibannya adalah negara-negara maju, terutama di Eropa dan Amerika. Biaya pemeliharaan itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab negara maju terhadap perubahan iklim.
”AS, misalnya, menyumbang 40 persen dosa emisi dunia,” ujar Rachmat. AS menyatakan akan ikut konferensi yang akan diikuti sekitar 198 negara dengan lebih dari 10.000 peserta itu.
Pemerintah AS menyatakan tidak akan membuat pertemuan atau membuat jalur lain sebelum konferensi di Bali. Kepastian sikap AS didapat Rachmat saat diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Washington DC. ”Ini satu kemenangan besar bagi Indonesia,” ujarnya.
Dana yang dibutuhkan untuk konferensi internasional ini sekitar 70 juta dollar AS. Indonesia sebagai panitia penyelenggara menganggarkan dana 23 juta dollar AS, sekitar Rp 200 miliar.
”Konferensi di Bali diselenggarakan untuk mengganti Protokol Kyoto yang sementara ini ditolak AS. Kyoto Protokol akan habis 2012,” ujarnya.
Sejumlah menteri keuangan dari negara calon peserta Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali akan melakukan pertemuan pendahuluan November mendatang. Pertemuan itu akan membahas antara lain kompensasi kepada negara berkembang yang menghasilkan gas karbon untuk menyerap emisi gas buang dengan penghijauan kembali.
Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Emil Salim menambahkan, ”Ada pertemuan antara menteri keuangan semua negara peserta membahas carbon trading (perdagangan karbon), di mana sektor swasta akan masuk.”
Seperti Indonesia, tambah Emil, karbon (CO2) akan diserap oleh hutan di Indonesia. ”Yang membayarnya nanti adalah sektor swasta yang harus mengurangi pencemarannya. Tiap negara mempunyai batas-batas pengurangan emisi yang berbeda-beda,” tambah Emil.
Menurut Emil, pada tahun 2012, jumlah emisi dari setiap negara harus berada 5,4 persen di bawah level emisi CO2 pada tahun 1990.
”Pada tahun 1990 ke 2012, tentu terjadi pembangunan. Tetapi, pembangunan tidak boleh mengeluarkan C02. Bagaimana cara mencegahnya, selain dengan teknologi juga dengan membayar negara-negara berkembang untuk menyerap CO2, yaitu dengan cara penghutanan kembali,” kata Emil.
Memasuki periode tahun 2012, tambah Emil, pencemaran yang terjadi akan lebih besar lagi sebagai ekses pembangunan. Karena itu, diperlukan modal yang cukup besar selain juga teknologi. Namun, terlepas dari meminta ganti rugi, sebenarnya yang lebih penting adalah menjaga serta mengendalikan CO2. Itu yang lebih penting,” kata Emil menambahkan.
|