Senin, 29 Oktober 2007

Jangan Terjebak Jual Beli

Reduksi Karbon Dikhawatirkan Justru Pinggirkan Masyarakat Hutan
Jakarta, Kompas - Seiring pembahasan tentang perubahan iklim, pemerintah diharapkan tidak terjebak pada mekanisme jual beli karbon yang juga akan dibahas di Bali, 3-14 Desember 2007. Selain mengalihkan dari soal utama, mereduksi karbon, mekanisme itu dikhawatirkan justru semakin meminggirkan masyarakat hutan.

"Pembahasan soal jual beli karbon ujung-ujungnya tak lebih dari soal dagang global seperti selama ini. Komoditasnya saja yang beda dan itu sering kali merugikan bangsa kita," kata Puji Sumedi Hanggarawati dari Tim Kampanye Forum Civil Society untuk Keadilan Iklim (CSF) yang dihubungi pada Minggu (28/10).

Forum yang digagas tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut kini beranggotakan 30 LSM. Mereka menyuarakan harapan komunitas lokal yang sudah dan akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim, termasuk mekanisme yang akan diputuskan yang mengatasnamakan reduksi emisi karbon.

Menurut Puji, daripada menghabiskan energi pada soal jual beli karbon, pemerintah semestinya benar-benar mengakomodasi suara komunitas lokal. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat terbesar dari seluruh mekanisme yang dibahas.

"Indonesia harus memiliki posisi tawar model adaptasi alam. Bahwa masyarakat hutan pun dapat mengelola hutan tetap lestari, sekalipun mereka mengambil manfaat dari sana. Hal itu harus diperhitungkan dan dinegosiasikan," kata dia.

Masyarakat hutan dikhawatirkan akan terpinggirkan dari tanah leluhurnya. "Bagaimana mereka mengusahakan hutannya secara adat seperti awalnya bila ada konsesi?" katanya.

Kini CSF makin bergiat mendampingi masyarakat lokal agar memahami perubahan iklim, dampaknya, termasuk hak-hak mereka. "Kami berjuang agar masyarakat tetap dapat mengakses dan mengontrol hutan mereka," kata Puji, yang juga Manajer Advokasi Kebijakan Publik Kehati.

Ketua Delegasi RI Emil Salim menyatakan, menuju protokol baru pascatahun 2012 harus jelas sejak pertemuan di Bali. Jadi, perlu disepakati langkah-langkah seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.

Menanggapi semangat global mekanisme jual beli karbon, sebanyak 10 LSM memberi catatan khusus pada pertemuan pendahuluan pra-Konvensi Para Pihak ke-13 di Bogor akhir pekan lalu. Mereka mendesak agar legitimasi mekanisme baru terkait adaptasi harus lebih tinggi dibandingkan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.

Salah satu isu yang berkembang, seluruh mekanisme pembiayaan karbon yang sedang dibahas tidak akan disetujui bila bertentangan dengan mekanisme WTO dan Bank Dunia. Mereka berkepentingan menjaga "bisnis"-nya di negara-negara berkembang dan miskin.

Read More......

Soal Konservasi Hutan, Inggris Mendukung

Bogor, Kompas - Rencana pengajuan kompensasi bagi Indonesia dalam menjaga dan mencegah kerusakan hutan melalui program Reducing Emission from Deforestation in Developing Country mendapat dukungan dari Inggris yang menganggap program tersebut masuk akal.

Itu antara lain yang dikemukakan Menteri Muda Lingkungan Departemen Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Phil Woolas MP dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (25/10).

Menurut Woolas, pasar karbon yang kini muncul sejalan dengan kebutuhan untuk menyediakan platform yang lebih luas lagi bagi negara berkembang.

"Kami ada pada situasi menyadari tanggung jawab kami, dari negara seperti Inggris. Kami juga menyadari kesulitan ekonomi di negara-negara pemilik hutan utama," ujarnya.

"Kami juga memikirkan ada pasar baru. Dapatkah kita melakukannya dengan cara itu untuk melindungi hutan? Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Kita bisa melihat ini sebagai kesempatan besar. Jika Indonesia dibayar dalam upayanya menjaga hutan, maka setiap pihak diuntungkan," tambahnya.

Wolaas menegaskan, program itu masuk akal. "Dan, deforestasi bukanlah hal yang bisa kami kritik dari Indonesia," kata Wolaas.

"Negara kami telah membabat hutan kami ribuan tahun lalu. Kami bersalah. Jadi kita harus membangun mekanisme yang fair soal pendanaan untuk memberikan kontribusi kepada dunia seperti transfer sumber daya untuk melindungi hutan. Itu situasi win-win," ujarnya. Masalah kehutanan dan deforestasi merupakan isu utama dalam persoalan perubahan iklim.

Adaptasi masih sulit

Menyinggung masalah adaptasi dan mitigasi, Woolas mengatakan, penyediaan dana untuk kedua isu tersebut memang masih sulit dan masih terus dicari terobosan guna menambah persediaan dana untuk itu.

Dia memberikan ilustrasi, "Kami di UK (United Kingdom-Inggris) tahun ini mengalami banjir terburuk sepanjang sejarah sejak 1766. Tinggi air mencapai sekitar 8 meter lebih tinggi dari ketinggian normal," katanya. Dengan kondisi seperti itu, lalu bagaimana menetapkan kebijakan untuk membangun perlindungan? "Berapa batas amannya? Kalau membangun dinding tiga kaki, ternyata tinggi air lebih dari tiga kaki bagaimana," katanya.

"Itu kebijakan yang cukup sulit. Di Bali nanti harus dipikirkan lagi bagaimana menyediakan dana adaptasi yang lebih besar karena (dampak) ini dihadapi oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Ini benar-benar problem. Adaptasi dan mitigasi saat ini menjadi masalah," ujarnya.

Dia menggarisbawahi bahwa impak perubahan iklim terutama di bidang pertanian. Dampak ikutannya yaitu kemiskinan akan semakin luas. Dampak itu menimpa negara di berbagai belahan bumi, misalnya Indonesia, Kenya (kehilangan dua pertiga kebun tehnya), serta Inggris sendiri. "Di Bali nanti pada intinya kami akan membahas detail soal pembangunan berkelanjutan," katanya.

Woolas mengatakan, Inggris memberikan komitmen mengurangi emisi CO>sub<2>res<>res< hingga 12,5 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990 hingga 2012, ternyata tetap menikmati pertumbuhan ekonomi 27 persen 10 tahun terakhir dan sekaligus berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 7 persen. "Demikian juga Swedia. Ini dicapai hanya dengan mengubah teknik produksi," jelasnya.

Bagaimana memberikan teknologi ini kepada negara-negara lain di dunia? "Ini merupakan tanggung jawab negara-negara Barat, yaitu menyediakan pendanaan. Sekarang ada 4,6 triliun dollar dan akan ditambah lagi. Kita juga harus mendapat sumber daya dari sektor swasta untuk transfer teknologi," tambahnya.

Soal menjawab persoalan perubahan iklim, menurut dia, "Kita harus membangun sistem ekonomi dan politik yang aman bagi manusia, yaitu ’melakukannya dengan cara bersih’," katanya.

Read More......

Pertemuan Bogor sepakati agenda konferensi perubahan iklim

BOGOR (Bisnis Indonesia): Pertemuan informal tingkat menteri untuk perubahan iklim yang ditutup kemarin berhasil menyepakati tiga pokok bahasan utama untuk dibawa ke sidang konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007.

Tiga pokok bahasan itu adalah elemen utama mengenai kelanjutan Protokol Kyoto, agenda pelaksanaan, serta penetapan Bali Roadmap sebagai landasan awal untuk menetapkan skema lanjutan upaya pengendalian dampak perubahan iklim jangka panjang.

Pertemuan informal yang diikuti perwakilan dari 37 negara pada tingkat menteri lingkungan hidup di Bogor itu dipimpin Meneg Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo De Boer Rachmat Witoelar mengungkapkan kesepakatan umum yang akan dibahas rinciannya di Bali adalah perluasan kerangka kerja pasca 2012, yaitu saat berakhirnya Protokol Kyoto. Poin lain adalah proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta masalah khusus seperti deforestrasi dan degradasi hutan.

Pada pertemuan itu, para delegasi menyepakati agar penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada yaitu UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan Protokol Kyoto.

Pertemuan itu juga menyepakati kelompok Annex I (negara maju) untuk tetap berperan penting dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Poin lain, kesepakatan kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo Dedoer mengaku puas dengan hasil pertemuan tingkat menteri di Bogor ini karena seluruh negosiator menyatakan siap berunding dalam konferensi di Bali.

Koordinator Perubahan Iklim WWF-Indonesia Ari Muhammad dan Armi Susandi dari Institut Teknologi Bandung mengatakan RI akan mengusung empat agenda utama dalam konvensi internasional mengenai pemanasan global.

Pertama, mengupayakan penghargaan setimpal bagi pengorbanan potensi ekonomi yang timbul dari upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dengan mengurangi penebangan hutan.�

Kedua, masalah alih teknologi bagi pengurangan emisi. Ketiga, pembahasan dana untuk adaptasi program pengurangan emisi. Keempat, pembahasan program pengurangan emisi pasca- Protokol Kyoto pada 2012.

Read More......

Sabtu, 27 Oktober 2007

Panitia Nasional dan Daerah Belum Berkoordinasi

Denpasar, Kompas - Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, tinggal sebulan dilaksanakan, tetapi hingga Jumat (26/10) panitia nasional dan daerah belum melakukan rapat khusus guna memantapkan koordinasi.

Panitia di daerah (Bali) hingga kemarin belum bisa mempersiapkan secara rinci pelaksanaan kegiatan pendukung (parallel event), seperti rencana kunjungan delegasi ke Taman Hutan Raya Mangrove di Denpasar, Hutan Raya Bedugul, dan Proyek Penghijauan di Nusa Penida.

Kelompok kegiatan parallel event ini menjadi tanggung jawab panitia nasional dan daerah. Konferensi akan berlangsung pada 3-14 Desember 2007 dipusatkan di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali.

Belum adanya koordinasi itu diakui sejumlah pihak yang dihubungi terpisah. Mereka di antaranya Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali I Made Sulendra, Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, dan Sekretaris Umum Panitia Daerah UNFCCC R Sudirman yang juga Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Nusra Kementerian LH.

Menurut mereka, koordinasi ini mendesak diadakan karena berkaitan dengan kepastian agenda dan anggaran. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah persiapan-persiapan kecil.

"Kami mempersiapkan boardwalk sepanjang 600 meter di kawasan hutan mangrove di Denpasar," kata Sulendra di Denpasar, Jumat. Hal senada dilontarkan Sudirman secara terpisah. Sementara Gede Nurjaya menambahkan, rapat koordinasi itu sangat ditunggu karena akan melibatkan provinsi lain.

"Ada kemungkinan ruang parkir Bandara Ngurah Rai tak mampu menampung pesawat peserta konferensi, jadi harus berkoordinasi dengan Bandara Mataram atau Surabaya. Itu koordinasinya harus melalui panitia nasional," kata Nurjaya.

Terus berubah

Ketua Pelaksana Harian Panitia Nasional Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo ketika dihubungi menjelaskan, rapat koordinasi sebenarnya sudah lima kali dilakukan.

"Namun semuanya masih berubah-ubah terus karena ada kegiatan dari departemen kehutanan atau dari yang lain. Dan mereka juga ada panitianya," ujarnya. Menurut dia, kepastian bisa didapat jika semua kegiatan panitia dipusatkan di Nusa Dua, yaitu sekitar tiga minggu menjelang konferensi.

Read More......

Delegasi RI Bersiap dalam Satu Bulan

Jakarta, Kompas - Delegasi RI untuk Konferensi Para Pihak Ke-13 di Bali akan dibentuk sebulan sebelum pertemuan dimulai. Nama-nama anggota delegasi direncanakan sudah ada pada 30 Oktober 2007.

Kondisi itu mendatangkan kekhawatiran beberapa pihak mengenai kesiapan delegasi untuk bernegosiasi. "Pembentukan delegasi menunggu pertemuan di Bogor yang berakhir kemarin," kata Ketua Delegasi RI Emil Salim seusai memberi ceramah lingkungan berkelanjutan di Universitas Paramadina Jakarta, Jumat (26/10).

Anggota delegasi yang bertugas melakukan negosiasi akan bertemu secara kontinu untuk membahas laporan-laporan hasil pertemuan para pihak sebelumnya. Tim juga akan merumuskan strategi dan berbagi tugas menangani bermacam isu dan materi yang akan dibahas di Bali.

"Saya kira waktunya cukup. Orangnya terdiri dari mereka yang pernah mengikuti COP sebelumnya," kata dia.

Ketua Bidang Substansi Indonesia pada COP Ke-13 Masnellyarti Hilman mengatakan, beberapa nama calon anggota delegasi sudah diajukan ke berbagai lembaga pemerintah. Pihaknya masih menunggu usulan nama dari departemen.

Beberapa lembaga itu, di antaranya Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perindustrian, Departemen Perhubungan, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.

"Materi pertemuan di Bali banyak sehingga perlu banyak anggota delegasi ikut pada pembahasan itu," kata Masnellyarti Hilman—yang juga menjabat Deputi Menneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan.

Nama-nama anggota delegasi harus dikirim ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 30 Oktober 2007.

Empat prioritas

Ada empat agenda prioritas delegasi RI, yaitu transfer teknologi, dana adaptasi, reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), serta skema penurunan emisi pascatahun 2012.

"Ada persoalan finansial dan investasi yang harus diikuti cermat. Bukan berarti yang lain tidak," kata Masnellyarti. Negosiasi juga berkisar institusi pengelola dana adaptasi dan transfer teknologi, serta diharapkan menyepakati adanya proyek percontohan REDD di negara berkembang.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad mengatakan, "Delegasi sebaiknya berisi mereka yang berkomitmen dan berintegritas tinggi."

Catatan LSM, Indonesia semestinya menekankan pada substansi menangani perubahan iklim, yakni reduksi emisi karbon sebanyak mungkin dan menggalang persatuan dengan negara- negara di kawasan selatan untuk menekan negara maju agar berkomitmen lebih keras.

Mereka juga mendorong agar target penurunan emisi karbon lima persen (2008-2012) pada Protokol Kyoto diperbesar. "Itu jauh lebih penting daripada prioritas jual beli karbon. Kalau negara berkembang akhirnya mendapat insentif, itu sebaiknya karena bonus, bukan tujuan utama," kata Chalid.

Read More......

Jumat, 26 Oktober 2007

Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim 23-25 Oktober 2007

Bogor, 25 Oktober 2005. Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim Informal (Ministerial Meeting on Climate Change) di Istana Bogor pada tanggal 24-25 Oktober. Pertemuan ini dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhono dan dihadiri oleh delegasi dari 35 Negara dan UNFCCC. Pertemuan ini dilakukan dalam rangka persiapan pertemuan tingkat tinggi atau konferensi antar pihak (COP 13) dari United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Konferensi dari Pertemuan antar pihak Protokol Kyoto (CMP 3) yang akan dilakukan di Bali pada tanggal 3 – 14 Desember 2007.

Dalam sambutannya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menghargai kehadiran dan mengajak seluruh delegasi untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim dengan menjadikan pertemuan ini sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dimulainya suatu proses di COP 13 yang dikenal sebagai Bali Road Map. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menambahkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah manusia dan tidak perlu diperdebatkan lagi seiring dengan keluarnya laporan IPCC keempat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menangani permasalahan ini dengan tegas, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional.

Sementara itu dalam sambutannya Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Rachmat Witoelar menyebutkan bahwa kehadiran Presiden RI menunjukkan betapa pentingnya pertemuan ini dan mendorong seluruh delegasi untuk melakukan yang terbaik dalam rangka persiapan Konferensi untuk Perubahan Iklim di Bali nanti.

Bertindak sebagai Pimpinan Pertemuan ini adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar. Rachmat Witoelar juga akan menjadi Presiden Konferensi Antar Pihak (COP) 13 UNFCCC di Bali Nanti. Pertemuan ini membahas tiga hal penting yaitu Building Blocks for a Future Framework, Delivering of the Building Block, and the Bali Road Map.

Kesepakatam umum dalam empat building blocks adalah memperluas kerangka pasca 2012 dan memberikan proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta isu khusus seperti deforestasi dan degradasi hutan.

Beberapa hal penting yang dihasilkan dalam pertemuan ini antara lain penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada, yaitu UNFCCC dan Protokol Kyoto; negara-negara Annex 1 tetap mengambil peran utama; dan tercapainya kesepakatan bahwa kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009 serta menjamin keberlanjutan CDM. Dalam konteks ini dibutuhkan konsensus yang lebih luas mengenai pentingnya Bali Road Map dalam rangka menuju kerangka pasca 2012 tersebut.

Read More......

Selasa, 23 Oktober 2007

Kapolda: Pelaku ”Illegal Logging” Terus Diburu

JAKARTA (RP)- Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi muncul di Bareskrim Mabes Polri, Senin (22/10) siang.
Orang nomor satu di Kepolisian Daerah (Polda) Riau, yang gencar melaksanakan operasi illegal logging di wilayahnya hingga menyulut kontroversi dengan Departemen Kehutanan itu mengaku, tidak akan surut langkah. Namun dia menolak menjelaskan agendanya ke Bareskrim Polri.

‘’Saya baru bertemu dengan Pak Hadiatmoko (Dir V Tipiter Bareskrim, red). Isinya tanya beliau saja, jangan saya. Semuanya satu pintu,’’ ujarnya sambil buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan menggenggam map warna biru. Saat ditanya, apakah agenda pertemuannya itu membahas tim gabungan yang diketuai Menko Polhukam? ‘’Bukan itu,’’ tegasnya

Seorang petinggi di lingkungan Mabes Polri mengatakan, polisi saat ini memang tengah menahan diri untuk berbuat lebih banyak dalam memberantas illegal logging. Pasalnya upaya polisi sering dianggap salah oleh pihak lain. ‘’Saat polisi menyikat praktik ilegal itu maka ada yang mengatakan kami menghambat ekonomi dan menciptakan pengangguran. Kami kini tahan diri di Riau sambil melihat kemana arahnya,’’ imbuhnya.

Namun Sutjiptadi membantah hal tersebut. Dia juga membantah jika pihaknya kini tidak lagi serius dalam menangani praktik yang merugikan negara triliunan rupiah pertahunnya itu. ‘’Kami tetap akan proses semua. Tapi jangan tanya saya silahkan tanya Pak Hadiatmoko,’’ janjinya.

Brigjen Pol Hadiatmoko yang dihubungi terpisah membantah adanya pertemuan dengan Sutjiptadi itu. ‘’Saya sedang di Kejaksaan Agung,’’ katanya.

Read More......

Rabu, 10 Oktober 2007

Hearing Illlegal Logging Panas

Indah Kiat Dicecar Soal Pembalakan Liar, RAPP Diusir Karena tak Siap Makalah
Jakarta, Tribune-Dengar pendapat atau hearing Komisi Energi, Iptek dan Lingkungan DPR dengan dua perusahaan bubur kertas (pulp) yang beroperasi di Riau berlangsung panas. Anggota dewan mencecar jajaran direksi PT Inda Kiat Pulp and Paper Tbk (IKPP) dan Pucuk pimpinan PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP), tentang pasokan bahan baku yang diduga berasal dari pembalakan liar yang kasusnya kini tengah diusut Polda Riau.

Dengar pendapat, Senin (8/10) kemaren, merupakan lanjutan dari agenda minggu lalu yang terkendala karena ketidaksiapan manajemen dua perusahaan bubur kertas (pulp) tersebut menjelaskan duduk persolan dugaan keterlibatan mereka dalam kasus illegal logging.

Presiden direktur IKPP Yudi Setiawan Lin, dalam penjelasannya di Gedung DPR membantah keras tuduhan itu. Menurutnya, perusahaannya memperoleh bahan baku dari kayu Bahan Baku Serpih (BBS) legal dan dari sumber sah. Ia menyebutkan, pada tahun 2006 lalu pasokan BBS dari Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola PT IKPP memang baru mencapai 55 persen dari total kebutuhan, dengan volume pasokan 4,839 juta ton. Sebanyak 3,892 juta ton BBS lainnya diperoleh dari kayu alam yang dipasok perusahaan mitra. Total pasokan BBS pada tahun ini mencapai 8,731 juta ton.

Namun, memasuki tahun 2007, sampai dengan bulan Agustus lalu komposisi pasokan BBS dari eks HTI kelolaannya meningkat menjadi 88 persen dengan volume pasokan BBS 4,655 juta ton. Sementara, BBS dari pihak ketiga yang berasal dari kayu alam hanya sekitar 12 persen dengan volume 633.625 ton. Total volume bahan baku kayu yang dipasok sejak januari sampai Agustus 2007 mencapai 5,288 juta ton. Ia juga mengklaim, rasio pasokan bahan baku pulp dari kayu alam sejak 2002 terus menurun.

Namun, direksi IKPP tetap tak luput dari cecaran DPR. Anggota dewan mengaku tak puas atas hasil presentasi peta pantauan luasan areal hutan konsesi IKPP yang memanfaatkan piranti peta digital google earth. “Permukaan hutan yang disajikan tidak sesuai dengan perkembangan sekarang” tuding Effendi Simbolon, anggota Komisi Energi, Iptek dan Lingkungan Hidup DPR. Direksi PT IKPP lainnya, G Sulistiyanto menyebutkan, luas areal HTI perusahaannya di Riau saat ini mencapai 663.352 hektare. Sementara luas areal konversi 273.559 hektare. Realisasi tanam selama tahun 2006 mencapai 282.361 hektare dan rencana tanam tahun ini di proyeksikan mencapai 54.575 hektare.

Selain menghadirkan direksi IKPP, rapat Komisi Energi DPR kemaren juga mendatngkan lagi pucuk pimpinan PT RAPP. Produsen bubur kertas terbessar di Indonesia yang berlokasi di Pelalawan.

Seperti kejadian pekan lalu, komisi ini menuding manajemen RAPP tak siap menyajikan presentasi di sidang DPR. Presentasi tentang bantahan keterlibtan RAPP dalam aktivitas pembaklakan liar di hutan alam Riau yang disajikan oleh pejabat level manajer RAPP, ditolak keras oleh DPR“Kita minta diretnya yang langsung memaparkan biar jelas”, tolak Ade Daud Nasution, anggota Komisi Energi DPR dengan nada tinggi. Paparan manajemen RAPP yang dihadiri langsung Dirut Rudy Fajar yang sebenarnya dilakukan lebih dulu sebelum paparan manajemen IKPP, itupun kemudian jadi mentah. Baru berjalan sekitar 15 menit, presentasi RAPP kemudian dihentikan oleh pimpinan siding, Sony Keraf.

“Sidang dengan RAPP kita putuskan ditunda. Kita minta direksi RAPP menyiapkan bahannya lebih matang lagi untuk presentasi minggu depan” kata Sony Keraf yang juga mantan Menneg Lingkungan hidup. Menerima keputusan itu seluruh tim direksi RAPP pun keluar meninggalkan ruangan. Rudy Fajar saat dimintai tanggapan usai hearing DPR menyatakan, pihaknya tidak punya keterlibatan dalam aktivitas pembalakan liar di Riau. “Sekarang proses hukumnya sedang berjalan. Kita ikuti dulu bagaimana perkembangannya. Pada prinsipnya kita siap menjelaskan lagi kepada DPR minggu depan”, ungkap Rudy Fajar

Read More......

Selasa, 09 Oktober 2007

Indonesia Ajukan Biaya Pelihara Hutan 5-20 Dollar AS

Jakarta, Kompas - Pemerintah Indonesia dalam Konferensi Internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim, 3-14 Desember 2007 di Bali, akan menawarkan proposal pemeliharaan hutan hujan tropis Indonesia dan sejumlah negara lain, yang umumnya miskin, ke negara maju.

Proposal biaya yang akan diajukan 5-20 dollar Amerika Serikat (AS) per hektar. ”Hutan hujan tropis kita sekitar 40 juta hektar. Biaya yang kita minta itu untuk menjaga hutan agar tidak hancur. Kita meminta hak kita,” ujar Menteri Negara Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar seusai rapat kabinet tentang persiapan konferensi di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (8/10).

Menurut Rachmat, negara yang akan dimintai kewajibannya adalah negara-negara maju, terutama di Eropa dan Amerika. Biaya pemeliharaan itu sebagai bagian dari bentuk tanggung jawab negara maju terhadap perubahan iklim.

”AS, misalnya, menyumbang 40 persen dosa emisi dunia,” ujar Rachmat. AS menyatakan akan ikut konferensi yang akan diikuti sekitar 198 negara dengan lebih dari 10.000 peserta itu.

Pemerintah AS menyatakan tidak akan membuat pertemuan atau membuat jalur lain sebelum konferensi di Bali. Kepastian sikap AS didapat Rachmat saat diutus Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Washington DC. ”Ini satu kemenangan besar bagi Indonesia,” ujarnya.

Dana yang dibutuhkan untuk konferensi internasional ini sekitar 70 juta dollar AS. Indonesia sebagai panitia penyelenggara menganggarkan dana 23 juta dollar AS, sekitar Rp 200 miliar.

”Konferensi di Bali diselenggarakan untuk mengganti Protokol Kyoto yang sementara ini ditolak AS. Kyoto Protokol akan habis 2012,” ujarnya.

Sejumlah menteri keuangan dari negara calon peserta Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali akan melakukan pertemuan pendahuluan November mendatang. Pertemuan itu akan membahas antara lain kompensasi kepada negara berkembang yang menghasilkan gas karbon untuk menyerap emisi gas buang dengan penghijauan kembali.

Ketua Delegasi Indonesia untuk Konferensi Internasional PBB tentang Perubahan Iklim di Bali Emil Salim menambahkan, ”Ada pertemuan antara menteri keuangan semua negara peserta membahas carbon trading (perdagangan karbon), di mana sektor swasta akan masuk.”

Seperti Indonesia, tambah Emil, karbon (CO2) akan diserap oleh hutan di Indonesia. ”Yang membayarnya nanti adalah sektor swasta yang harus mengurangi pencemarannya. Tiap negara mempunyai batas-batas pengurangan emisi yang berbeda-beda,” tambah Emil.

Menurut Emil, pada tahun 2012, jumlah emisi dari setiap negara harus berada 5,4 persen di bawah level emisi CO2 pada tahun 1990.

”Pada tahun 1990 ke 2012, tentu terjadi pembangunan. Tetapi, pembangunan tidak boleh mengeluarkan C02. Bagaimana cara mencegahnya, selain dengan teknologi juga dengan membayar negara-negara berkembang untuk menyerap CO2, yaitu dengan cara penghutanan kembali,” kata Emil.

Memasuki periode tahun 2012, tambah Emil, pencemaran yang terjadi akan lebih besar lagi sebagai ekses pembangunan. Karena itu, diperlukan modal yang cukup besar selain juga teknologi. Namun, terlepas dari meminta ganti rugi, sebenarnya yang lebih penting adalah menjaga serta mengendalikan CO2. Itu yang lebih penting,” kata Emil menambahkan.

Read More......

Komisi VII DPR Sepakat ke Riau

JAKARTA (RP)- Merasa kurang percaya dengan data-data yang disampaikan PT Indah Kiat Pulp & Paper (IKPP), Komisi VII DPR RI akhirnya memutuskan untuk turun langsung ke lapangan memastikan apakah perusahaan bubur kertas dan kertas terbesar di Asia Tenggara itu terlibat atau tidak dalam praktik illegal logging di Riau. Keputusan itu disepakati setelah Komisi VII menggelar Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan PT IKPP dan PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP/Riaupulp) di Gedung DPR/MPR RI, kawasan Senayan, Jakarta, Senin (8/10).

Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VII Sonny Keraf (FPDIP) itu, IKPP berusaha menjawab pertanyaan tertulis yang telah disampaikan para anggota Komisi VII termasuk memberikan data-data untuk menglarifikasi bahwa IKPP tidak terlibat dalam praktik illegal logging sebagaimana ditudingkan banyak pihak. Bahkan, IKPP sudah mencoba memakai teknologi google, sebagaimana permintaan Komisi VII, untuk memantau dengan citra satelit areal HTI yang dimiliki. Sayangnya, hasil yang ditampilkan dinilai sudah tidak aktual lagi.

Di sisi lain, banyak di antara anggota Komisi VII yang kelihatan kurang mengerti dengan penjelasan yang disampaikan pihak IKPP. Apalagi kalau sudah terkait istilah-istilah dalam teknologi google. Sementara tudingan bahwa perusahaan Grup Sinar Mas yang

memiliki kapasitas produksi lebih-kurang 2 juta ton per tahun itu, seakan sudah pasti. Sehingga, hujan interupsi pertanda rasa tidak puas pun tak dapat dihindari.

Pimpinan rapat Sonny Keraf berkali-kali menegaskan bahwa Komisi VII pada prinsipnya ingin mengetahui berapa luas hutan tanaman yang dimiliki dan dari mana saja suplai bahan baku, sehingga penjelasan itu bisa meyakinkan Komisi VII bahwa IKPP memang tidak terlibat illegal logging.

Pihak IKPP yang dipimpin Presdir Yudi Setiawan Lin menjelaskan bahwa perusahaannya memiliki areal tanaman di Riau sekitar 390.000 hektare (netto). Di samping itu, IKPP juga membeli bahan baku dari mitra kerjanya. Sehingga, IKPP berusaha meyakinkan Komisi VII bahwa pihaknya sama sekali tidak terlibat illegal logging dan hanya menerima bahan baku kayu yang legal.

Apalagi, selama ini, IKPP sudah menerapkan sistem lacak balak yang diaudit oleh pihak ketiga, sehingga tidak mungkin IKPP menerima kayu-kayu ilegal.

Namun penjelasan IKPP tetap dirasa tidak memuaskan sehingga mayoritas anggota Komisi VII tetap belum yakin kalau perusahaan itu bebas dari praktik illegal logging. Beberapa anggota Komisi VII, seperti Effendi Simbolon (PDIP), Brur Maras (PD), Ade Daud Nasution (PBR) bahkan berkali-kali menuding perusahaan itu telah meluluhlantakkan hutan Riau. ‘’Kita sepakati saja agar perusahaan ini ditutup. Kita rekomendasikan saja begitu,’’ desak Brur Maras, dengan nada tinggi.

Mendapat desakan yang tidak mengenakkan itu, Presdir IKPP Yudi meminta agar Komisi VII jangan sampai mengeluarkan rekomendasi yang seperti itu. ‘’Kami ini datang justru minta bantuan kepada bapak-bapak, karena kami dituding sebagai pelaku illegal logging. Itulah sebabnya kami berusaha menjelaskan kepada bapak-bapak bahwa kami tidak terlibat,’’ ucap Yudi.

Melihat suasana rapat yang kurang kondusif dan banyak interupsi, pimpinan rapat Sonny Keraf akhirnya menawarkan kepada para anggota Komisi VII untuk turun ke lapangan mengecek langsung kebenaran apakah IKPP terlibat atau tidak praktik illegal logging. Tawaran itu pun disepakati. Namun kapan persisnya Komisi VII akan turun ke Riau, belum dipastikan. Selain itu, Komisi VII juga berencana memanggil semua pihak terkait, termasuk Tim Gabungan bentukan Presiden SBY untuk mendapat penjelasan yang lebih komprehensif terkait kasus illegal logging di Riau.

Riaupulp Ditunda Lagi
Sementara RDPU dengan Riaupulp terpaksa ditunda lagi karena Komisi VII merasa kecewa dengan keseriusan pihak Riaupulp dalam menyiapkan data-data yang diperlukan. Dalam RDPU itu, Riaupulp mendapat kesempatan pertama untuk menyampaikan paparan. Sayangnya, sejumlah anggota Komisi VII merasa belum menerima data-data yang diminta. Padahal, Komisi VII sejak awal sudah memerintahkan Riaupulp agar menyampaikan data-data yang diminta empat hari sebelum RDPU digelar.

Sementara Riaupulp baru menyampaikan data-data itu Senin (8/10) pagi kepada Komisi VII. ‘’Bagaimana kita bisa membaca dan mendalami data-data disampaikan kalau kita belum membacanya,’’ kritik Effendi Simbolon.

Effendi juga meminta agar Dirut Riaupulp Rudi Fajar bisa lebih menguasai berbagai persoalan dan data menyangkut perusahaan yang dipimpinnya. Sehingga, ketika RDPU dengan DPR, tidak perlu meminta bantuan kepada para bawahannya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan anggota dewan.

Akibat kekecewaan itu, Komisi VII akhirnya meminta Riaupulp menyiapkan lagi data-data yang diminta, dan kemungkinan setelah Idul Fitri, Komisi VII akan menjadwalkan kembali RDPU dengan Riaupulp. Kepada wartawan, usai pertemuan Rudi Fajar membantah tudingan kalau selama ini Riaupulp terlibat illegal logging. Menurutnya, selama ini Riaupulp menyuplai bahan baku dari Hutan Tanaman Industri (HTI) sendiri. Disamping itu, bahan baku yang diperoleh dari luar HTI Riaupulp pun didapatkan dengan cara yang legal.

Read More......

Sabtu, 06 Oktober 2007

PBB Persilakan Kaban Diperiksa

Kasus ”Illegal Logging” di Riau
JAKARTA (RP)- Ketua PBB Yusron Ihza Mahendra meminta Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera mengeluarkan izin pemeriksaan terhadap Menhut MS Kaban terkait dugaan keterlibatannya dalam kasus illegal logging di Riau.

Yusron yang juga Wakil Ketua Komisi I DPR RI itu menegaskan, meski Kaban Ketua Umum PBB, namun pihaknya justru mendukung bila izin pemeriksaan terhadap Kaban segera dikeluarkan. ‘’Hukum itu harus berlaku bagi semua orang. Kalau memang Kaban terlibat, silahkan Presiden segera mengeluarkan izin pemeriksaannya,’’ tegas Yusron kepada Riau Pos saat menghadiri acara buka puasa di kediamannya, kawasan Jakarta Selatan, Rabu (3/10) malam.

Yusron melihat, justru dengan berlarut-larutnya kasus illegal logging di Riau, nama baik Kaban ikut tercoreng karena dituding pihak kepolisian sebagai biang keladi kasus tersebut. Padahal, belum tentu tudingan itu benar.

‘’Kalau memang terbukti di mukapengadilan, silahkan masukkan Kaban ke penjara. Tapi kalau tidak, segera pulihkan nama baiknya,’’ pinta adik kandung Yusril Ihza Mahendra itu.

Yusron menilai, sikap para penegak hukum yang terlalu gembar-gembor dalam melakukan penyelidikan seringkali merusak nama baik pihak-pihak yang disebut-sebut terlibat, padahal belum tentu secara hukum terbukti.

‘’Saya tidak setuju dengan aparat hukum kita yang sering kali melempar sinyalemen kepada masyarakat, bicara kepada pers bahwa orang ini, pejabat ini diduga terlibat dan lain sebagainya,’’ kata dia.

Seharusnya, desak Yusron, bila memang para penegak hukum punya komitmen yang kuat dalam menegakkan hukum, tidak perlu dilakukan dengan gembar-gembor. ‘’Kalau memang ada bukti yang kuat, kumpulkan bukti itu, lalu ajukan ke pengadilan. Nggak perlu, baru sebatas diduga, tapi sudah ngomong ke mana-mana, berkoar-koar,’’ kritiknya.

Akhirnya, ucap Yusron, hukum tidak lagi ditegakkan untuk mencari keadilan, tapi sudah menjadi alat politik. Bahkan, bisa jadi masuk pihak ketiga untuk mencari keuntungan dari kasus tersebut. ‘’Hukum kalau sudah dijadikan alat politik, ini yang tidak benar. Nanti biasanya ada tebang pilih atau untuk menghabisi orang. Sudahlah, kita minta aparat penegak hukum jangan lagi begitu,’’ desaknya lagi.

Lebih jauh, Yusron menilai kasus penanganan illegal logging di Riau sudah terlalu lama terkatung-katung, sehingga menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Yusron mendesak Polda Riau untuk mengajukan semua pihak yang terlibat ke meja hijau. ‘’Kalau memang sudah cukup bukti, ajukan dong ke pengadilan. Jangan membuat ketidakpastian hukum. Ini juga tidak baik bagi dunia usaha,’’ sebutnya.

Bila memang akhirnya Presiden SBY mengeluarkan izin pemeriksaan bagi Kaban, apakah PBB akan menyiapkan pengacara khusus, Yusron mengatakan, bisa saja. ‘’Tapi itu terserah dia. Kalau pengacara itu, kan pilihan masing-masing,’’ jawabnya.

Menyinggung banyaknya komisi di DPR yang terlibat dalam menyikapi kasus illegal logging di Riau, Yusron mengatakan, itu tidak efektif. Sebaiknya, dibentuk saja Pansus tentang Illegal Logging yang tidak saja menangani kasus di Riau, tapi di seluruh Indonesia.

‘’Sebab, kan illegal logging itu tidak hanya di Riau, tapi juga ada di Papua, Kalimantan dan lainnya,’’ demikian Yusron.

Read More......

Kamis, 04 Oktober 2007

Diandalkan, 88 Juta Hektar Hutan

Forum Aliansi Antarnegara Mendesain Potensinya

Jakarta, Kompas - Luasan tutupan hutan yang potensial "diperdagangkan" terkait penyerapan emisi karbon mencapai 88 juta hektar. Data itulah yang akan digunakan ketika bernegosiasi untuk memperoleh subsidi dana dalam forum Konferensi Para Pihak Ke-13 Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim di Bali, 3-14 Desember 2007.

Data tersebut merupakan hasil studi citra landsat yang dilakukan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB tahun 2005. "Luasan itu sangat potensial dan signifikan untuk ’diperdagangkan’ pada forum COP ke-13," kata Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Kemitraan Kehutanan Sunaryo kepada pers di Jakarta, Rabu (3/10), tentang hutan andalan Indonesia.

Tutupan lahan itu, termasuk di antaranya kawasan hutan alam (hutan lindung masuk di dalamnya), hutan tanaman, dan kawasan perkebunan hasil konversi hutan alam. Adapun luas total kawasan hutan Indonesia, termasuk dengan vegetasi jarang, mencapai 120 juta hektar.

Sebelumnya, pihak Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan bahwa luas hutan dalam kondisi baik di seluruh Indonesia minimal mencapai 33 juta hektar. Seluas itu pula kawasan yang potensial memperoleh dana besar dari mekanisme internasional mencegah deforestasi.

Dengan asumsi perhitungan harga per hektar hutan kondisi bagus setara 10 dollar AS, seperti diungkapkan Menteri KLH Rachmat Witoelar, setidaknya dapat terkumpul dana 330 juta dollar AS. "Itu potensi dari perhitungan luasnya, belum harga karbonnya," katanya.

Potensi karbon

Untuk menghitung potensi karbon pada setiap jenis kawasan hutan dan lahan gambut, Departemen Kehutanan bekerja sama dengan Bank Dunia serta beberapa negara, di antaranya Inggris dan Australia, membentuk forum Indonesia Forest Climate Alliance.

Forum itu secara khusus mendesain, membuat metodologi penghitungan potensi karbon dan model pengawasannya di setiap kawasan. Setidaknya, ada lima klasifikasi lanskap, masing-masing kawasan konservasi, hutan produksi, hutan industri, lahan gambut, dan kawasan yang dikonversi. "Tidak mungkin penghitungan selesai Desember. Namun, setidaknya Indonesia memiliki pilihan yang dapat ditawarkan," kata Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kehutanan Dephut Wahjudi Wardojo.

Perhitungan karbon yang digunakan selama ini, setiap hektar hutan alam berpotensi menyerap 200-300 ton karbon. Hutan tanaman menyerap 100-150 ton karbon per hektar, sedangkan kawasan perkebunan menyerap 25-30 ton karbon per hektarnya.

"Kami ingin memperoleh hitungan terbaru dari kerja sama tadi. Soal harganya hingga kini memang belum ada kesepakatan dan pertemuan di Bali merupakan salah satu langkah awal," kata Wahjudi.

Read More......