Senin, 29 Oktober 2007

Jangan Terjebak Jual Beli

Reduksi Karbon Dikhawatirkan Justru Pinggirkan Masyarakat Hutan
Jakarta, Kompas - Seiring pembahasan tentang perubahan iklim, pemerintah diharapkan tidak terjebak pada mekanisme jual beli karbon yang juga akan dibahas di Bali, 3-14 Desember 2007. Selain mengalihkan dari soal utama, mereduksi karbon, mekanisme itu dikhawatirkan justru semakin meminggirkan masyarakat hutan.

"Pembahasan soal jual beli karbon ujung-ujungnya tak lebih dari soal dagang global seperti selama ini. Komoditasnya saja yang beda dan itu sering kali merugikan bangsa kita," kata Puji Sumedi Hanggarawati dari Tim Kampanye Forum Civil Society untuk Keadilan Iklim (CSF) yang dihubungi pada Minggu (28/10).

Forum yang digagas tujuh lembaga swadaya masyarakat (LSM) tersebut kini beranggotakan 30 LSM. Mereka menyuarakan harapan komunitas lokal yang sudah dan akan terkena dampak langsung dari perubahan iklim, termasuk mekanisme yang akan diputuskan yang mengatasnamakan reduksi emisi karbon.

Menurut Puji, daripada menghabiskan energi pada soal jual beli karbon, pemerintah semestinya benar-benar mengakomodasi suara komunitas lokal. Harapannya, masyarakat memperoleh manfaat terbesar dari seluruh mekanisme yang dibahas.

"Indonesia harus memiliki posisi tawar model adaptasi alam. Bahwa masyarakat hutan pun dapat mengelola hutan tetap lestari, sekalipun mereka mengambil manfaat dari sana. Hal itu harus diperhitungkan dan dinegosiasikan," kata dia.

Masyarakat hutan dikhawatirkan akan terpinggirkan dari tanah leluhurnya. "Bagaimana mereka mengusahakan hutannya secara adat seperti awalnya bila ada konsesi?" katanya.

Kini CSF makin bergiat mendampingi masyarakat lokal agar memahami perubahan iklim, dampaknya, termasuk hak-hak mereka. "Kami berjuang agar masyarakat tetap dapat mengakses dan mengontrol hutan mereka," kata Puji, yang juga Manajer Advokasi Kebijakan Publik Kehati.

Ketua Delegasi RI Emil Salim menyatakan, menuju protokol baru pascatahun 2012 harus jelas sejak pertemuan di Bali. Jadi, perlu disepakati langkah-langkah seperti mitigasi, adaptasi, transfer teknologi, dan pendanaan.

Menanggapi semangat global mekanisme jual beli karbon, sebanyak 10 LSM memberi catatan khusus pada pertemuan pendahuluan pra-Konvensi Para Pihak ke-13 di Bogor akhir pekan lalu. Mereka mendesak agar legitimasi mekanisme baru terkait adaptasi harus lebih tinggi dibandingkan dengan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan Bank Dunia.

Salah satu isu yang berkembang, seluruh mekanisme pembiayaan karbon yang sedang dibahas tidak akan disetujui bila bertentangan dengan mekanisme WTO dan Bank Dunia. Mereka berkepentingan menjaga "bisnis"-nya di negara-negara berkembang dan miskin.

Read More......

Soal Konservasi Hutan, Inggris Mendukung

Bogor, Kompas - Rencana pengajuan kompensasi bagi Indonesia dalam menjaga dan mencegah kerusakan hutan melalui program Reducing Emission from Deforestation in Developing Country mendapat dukungan dari Inggris yang menganggap program tersebut masuk akal.

Itu antara lain yang dikemukakan Menteri Muda Lingkungan Departemen Urusan Lingkungan, Pangan, dan Pedesaan Phil Woolas MP dalam wawancara dengan Kompas, Kamis (25/10).

Menurut Woolas, pasar karbon yang kini muncul sejalan dengan kebutuhan untuk menyediakan platform yang lebih luas lagi bagi negara berkembang.

"Kami ada pada situasi menyadari tanggung jawab kami, dari negara seperti Inggris. Kami juga menyadari kesulitan ekonomi di negara-negara pemilik hutan utama," ujarnya.

"Kami juga memikirkan ada pasar baru. Dapatkah kita melakukannya dengan cara itu untuk melindungi hutan? Kami bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia dalam proyek tersebut. Kita bisa melihat ini sebagai kesempatan besar. Jika Indonesia dibayar dalam upayanya menjaga hutan, maka setiap pihak diuntungkan," tambahnya.

Wolaas menegaskan, program itu masuk akal. "Dan, deforestasi bukanlah hal yang bisa kami kritik dari Indonesia," kata Wolaas.

"Negara kami telah membabat hutan kami ribuan tahun lalu. Kami bersalah. Jadi kita harus membangun mekanisme yang fair soal pendanaan untuk memberikan kontribusi kepada dunia seperti transfer sumber daya untuk melindungi hutan. Itu situasi win-win," ujarnya. Masalah kehutanan dan deforestasi merupakan isu utama dalam persoalan perubahan iklim.

Adaptasi masih sulit

Menyinggung masalah adaptasi dan mitigasi, Woolas mengatakan, penyediaan dana untuk kedua isu tersebut memang masih sulit dan masih terus dicari terobosan guna menambah persediaan dana untuk itu.

Dia memberikan ilustrasi, "Kami di UK (United Kingdom-Inggris) tahun ini mengalami banjir terburuk sepanjang sejarah sejak 1766. Tinggi air mencapai sekitar 8 meter lebih tinggi dari ketinggian normal," katanya. Dengan kondisi seperti itu, lalu bagaimana menetapkan kebijakan untuk membangun perlindungan? "Berapa batas amannya? Kalau membangun dinding tiga kaki, ternyata tinggi air lebih dari tiga kaki bagaimana," katanya.

"Itu kebijakan yang cukup sulit. Di Bali nanti harus dipikirkan lagi bagaimana menyediakan dana adaptasi yang lebih besar karena (dampak) ini dihadapi oleh berbagai negara di berbagai belahan dunia. Ini benar-benar problem. Adaptasi dan mitigasi saat ini menjadi masalah," ujarnya.

Dia menggarisbawahi bahwa impak perubahan iklim terutama di bidang pertanian. Dampak ikutannya yaitu kemiskinan akan semakin luas. Dampak itu menimpa negara di berbagai belahan bumi, misalnya Indonesia, Kenya (kehilangan dua pertiga kebun tehnya), serta Inggris sendiri. "Di Bali nanti pada intinya kami akan membahas detail soal pembangunan berkelanjutan," katanya.

Woolas mengatakan, Inggris memberikan komitmen mengurangi emisi CO>sub<2>res<>res< hingga 12,5 persen dari jumlah emisi pada tahun 1990 hingga 2012, ternyata tetap menikmati pertumbuhan ekonomi 27 persen 10 tahun terakhir dan sekaligus berhasil mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) 7 persen. "Demikian juga Swedia. Ini dicapai hanya dengan mengubah teknik produksi," jelasnya.

Bagaimana memberikan teknologi ini kepada negara-negara lain di dunia? "Ini merupakan tanggung jawab negara-negara Barat, yaitu menyediakan pendanaan. Sekarang ada 4,6 triliun dollar dan akan ditambah lagi. Kita juga harus mendapat sumber daya dari sektor swasta untuk transfer teknologi," tambahnya.

Soal menjawab persoalan perubahan iklim, menurut dia, "Kita harus membangun sistem ekonomi dan politik yang aman bagi manusia, yaitu ’melakukannya dengan cara bersih’," katanya.

Read More......

Pertemuan Bogor sepakati agenda konferensi perubahan iklim

BOGOR (Bisnis Indonesia): Pertemuan informal tingkat menteri untuk perubahan iklim yang ditutup kemarin berhasil menyepakati tiga pokok bahasan utama untuk dibawa ke sidang konferensi PBB untuk Perubahan Iklim di Bali pada Desember 2007.

Tiga pokok bahasan itu adalah elemen utama mengenai kelanjutan Protokol Kyoto, agenda pelaksanaan, serta penetapan Bali Roadmap sebagai landasan awal untuk menetapkan skema lanjutan upaya pengendalian dampak perubahan iklim jangka panjang.

Pertemuan informal yang diikuti perwakilan dari 37 negara pada tingkat menteri lingkungan hidup di Bogor itu dipimpin Meneg Lingkungan Hidup RI Rachmat Witoelar.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo De Boer Rachmat Witoelar mengungkapkan kesepakatan umum yang akan dibahas rinciannya di Bali adalah perluasan kerangka kerja pasca 2012, yaitu saat berakhirnya Protokol Kyoto. Poin lain adalah proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta masalah khusus seperti deforestrasi dan degradasi hutan.

Pada pertemuan itu, para delegasi menyepakati agar penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada yaitu UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan Protokol Kyoto.

Pertemuan itu juga menyepakati kelompok Annex I (negara maju) untuk tetap berperan penting dalam mengantisipasi dampak perubahan iklim. Poin lain, kesepakatan kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009.

Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo Dedoer mengaku puas dengan hasil pertemuan tingkat menteri di Bogor ini karena seluruh negosiator menyatakan siap berunding dalam konferensi di Bali.

Koordinator Perubahan Iklim WWF-Indonesia Ari Muhammad dan Armi Susandi dari Institut Teknologi Bandung mengatakan RI akan mengusung empat agenda utama dalam konvensi internasional mengenai pemanasan global.

Pertama, mengupayakan penghargaan setimpal bagi pengorbanan potensi ekonomi yang timbul dari upaya Indonesia untuk mengurangi emisi dengan mengurangi penebangan hutan.�

Kedua, masalah alih teknologi bagi pengurangan emisi. Ketiga, pembahasan dana untuk adaptasi program pengurangan emisi. Keempat, pembahasan program pengurangan emisi pasca- Protokol Kyoto pada 2012.

Read More......

Sabtu, 27 Oktober 2007

Panitia Nasional dan Daerah Belum Berkoordinasi

Denpasar, Kompas - Konferensi Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim di Nusa Dua, Bali, tinggal sebulan dilaksanakan, tetapi hingga Jumat (26/10) panitia nasional dan daerah belum melakukan rapat khusus guna memantapkan koordinasi.

Panitia di daerah (Bali) hingga kemarin belum bisa mempersiapkan secara rinci pelaksanaan kegiatan pendukung (parallel event), seperti rencana kunjungan delegasi ke Taman Hutan Raya Mangrove di Denpasar, Hutan Raya Bedugul, dan Proyek Penghijauan di Nusa Penida.

Kelompok kegiatan parallel event ini menjadi tanggung jawab panitia nasional dan daerah. Konferensi akan berlangsung pada 3-14 Desember 2007 dipusatkan di Hotel Westin, Nusa Dua, Bali.

Belum adanya koordinasi itu diakui sejumlah pihak yang dihubungi terpisah. Mereka di antaranya Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali I Made Sulendra, Kepala Dinas Pariwisata Bali Gede Nurjaya, dan Sekretaris Umum Panitia Daerah UNFCCC R Sudirman yang juga Kepala Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Regional Nusra Kementerian LH.

Menurut mereka, koordinasi ini mendesak diadakan karena berkaitan dengan kepastian agenda dan anggaran. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah persiapan-persiapan kecil.

"Kami mempersiapkan boardwalk sepanjang 600 meter di kawasan hutan mangrove di Denpasar," kata Sulendra di Denpasar, Jumat. Hal senada dilontarkan Sudirman secara terpisah. Sementara Gede Nurjaya menambahkan, rapat koordinasi itu sangat ditunggu karena akan melibatkan provinsi lain.

"Ada kemungkinan ruang parkir Bandara Ngurah Rai tak mampu menampung pesawat peserta konferensi, jadi harus berkoordinasi dengan Bandara Mataram atau Surabaya. Itu koordinasinya harus melalui panitia nasional," kata Nurjaya.

Terus berubah

Ketua Pelaksana Harian Panitia Nasional Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim Agus Purnomo ketika dihubungi menjelaskan, rapat koordinasi sebenarnya sudah lima kali dilakukan.

"Namun semuanya masih berubah-ubah terus karena ada kegiatan dari departemen kehutanan atau dari yang lain. Dan mereka juga ada panitianya," ujarnya. Menurut dia, kepastian bisa didapat jika semua kegiatan panitia dipusatkan di Nusa Dua, yaitu sekitar tiga minggu menjelang konferensi.

Read More......

Delegasi RI Bersiap dalam Satu Bulan

Jakarta, Kompas - Delegasi RI untuk Konferensi Para Pihak Ke-13 di Bali akan dibentuk sebulan sebelum pertemuan dimulai. Nama-nama anggota delegasi direncanakan sudah ada pada 30 Oktober 2007.

Kondisi itu mendatangkan kekhawatiran beberapa pihak mengenai kesiapan delegasi untuk bernegosiasi. "Pembentukan delegasi menunggu pertemuan di Bogor yang berakhir kemarin," kata Ketua Delegasi RI Emil Salim seusai memberi ceramah lingkungan berkelanjutan di Universitas Paramadina Jakarta, Jumat (26/10).

Anggota delegasi yang bertugas melakukan negosiasi akan bertemu secara kontinu untuk membahas laporan-laporan hasil pertemuan para pihak sebelumnya. Tim juga akan merumuskan strategi dan berbagi tugas menangani bermacam isu dan materi yang akan dibahas di Bali.

"Saya kira waktunya cukup. Orangnya terdiri dari mereka yang pernah mengikuti COP sebelumnya," kata dia.

Ketua Bidang Substansi Indonesia pada COP Ke-13 Masnellyarti Hilman mengatakan, beberapa nama calon anggota delegasi sudah diajukan ke berbagai lembaga pemerintah. Pihaknya masih menunggu usulan nama dari departemen.

Beberapa lembaga itu, di antaranya Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Luar Negeri, Departemen Kehutanan, Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perindustrian, Departemen Perhubungan, serta Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.

"Materi pertemuan di Bali banyak sehingga perlu banyak anggota delegasi ikut pada pembahasan itu," kata Masnellyarti Hilman—yang juga menjabat Deputi Menneg LH Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Daya Alam dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan.

Nama-nama anggota delegasi harus dikirim ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) 30 Oktober 2007.

Empat prioritas

Ada empat agenda prioritas delegasi RI, yaitu transfer teknologi, dana adaptasi, reduksi emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD), serta skema penurunan emisi pascatahun 2012.

"Ada persoalan finansial dan investasi yang harus diikuti cermat. Bukan berarti yang lain tidak," kata Masnellyarti. Negosiasi juga berkisar institusi pengelola dana adaptasi dan transfer teknologi, serta diharapkan menyepakati adanya proyek percontohan REDD di negara berkembang.

Dihubungi terpisah, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Chalid Muhammad mengatakan, "Delegasi sebaiknya berisi mereka yang berkomitmen dan berintegritas tinggi."

Catatan LSM, Indonesia semestinya menekankan pada substansi menangani perubahan iklim, yakni reduksi emisi karbon sebanyak mungkin dan menggalang persatuan dengan negara- negara di kawasan selatan untuk menekan negara maju agar berkomitmen lebih keras.

Mereka juga mendorong agar target penurunan emisi karbon lima persen (2008-2012) pada Protokol Kyoto diperbesar. "Itu jauh lebih penting daripada prioritas jual beli karbon. Kalau negara berkembang akhirnya mendapat insentif, itu sebaiknya karena bonus, bukan tujuan utama," kata Chalid.

Read More......

Jumat, 26 Oktober 2007

Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim 23-25 Oktober 2007

Bogor, 25 Oktober 2005. Pertemuan Informal Tingkat Menteri untuk Perubahan Iklim Informal (Ministerial Meeting on Climate Change) di Istana Bogor pada tanggal 24-25 Oktober. Pertemuan ini dibuka oleh Presiden Republik Indonesia, Soesilo Bambang Yudhono dan dihadiri oleh delegasi dari 35 Negara dan UNFCCC. Pertemuan ini dilakukan dalam rangka persiapan pertemuan tingkat tinggi atau konferensi antar pihak (COP 13) dari United Nation Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) dan Konferensi dari Pertemuan antar pihak Protokol Kyoto (CMP 3) yang akan dilakukan di Bali pada tanggal 3 – 14 Desember 2007.

Dalam sambutannya Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menghargai kehadiran dan mengajak seluruh delegasi untuk bersama-sama mengatasi perubahan iklim dengan menjadikan pertemuan ini sebagai dasar bagi pengambilan keputusan dimulainya suatu proses di COP 13 yang dikenal sebagai Bali Road Map. Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menambahkan bahwa penyebab utama perubahan iklim adalah manusia dan tidak perlu diperdebatkan lagi seiring dengan keluarnya laporan IPCC keempat. Dengan demikian tidak ada alasan bagi kita untuk tidak menangani permasalahan ini dengan tegas, baik di tingkat lokal, regional maupun internasional.

Sementara itu dalam sambutannya Menteri Negara Lingkungan Hidup RI, Rachmat Witoelar menyebutkan bahwa kehadiran Presiden RI menunjukkan betapa pentingnya pertemuan ini dan mendorong seluruh delegasi untuk melakukan yang terbaik dalam rangka persiapan Konferensi untuk Perubahan Iklim di Bali nanti.

Bertindak sebagai Pimpinan Pertemuan ini adalah Menteri Negara Lingkungan Hidup Indonesia, Rachmat Witoelar. Rachmat Witoelar juga akan menjadi Presiden Konferensi Antar Pihak (COP) 13 UNFCCC di Bali Nanti. Pertemuan ini membahas tiga hal penting yaitu Building Blocks for a Future Framework, Delivering of the Building Block, and the Bali Road Map.

Kesepakatam umum dalam empat building blocks adalah memperluas kerangka pasca 2012 dan memberikan proporsi yang adil bagi adaptasi dan mitigasi serta isu khusus seperti deforestasi dan degradasi hutan.

Beberapa hal penting yang dihasilkan dalam pertemuan ini antara lain penanganan perubahan iklim tetap mengacu pada kerangka yang sudah ada, yaitu UNFCCC dan Protokol Kyoto; negara-negara Annex 1 tetap mengambil peran utama; dan tercapainya kesepakatan bahwa kerangka multilateral pasca 2012 harus selesai pada 2009 serta menjamin keberlanjutan CDM. Dalam konteks ini dibutuhkan konsensus yang lebih luas mengenai pentingnya Bali Road Map dalam rangka menuju kerangka pasca 2012 tersebut.

Read More......

Selasa, 23 Oktober 2007

Kapolda: Pelaku ”Illegal Logging” Terus Diburu

JAKARTA (RP)- Kapolda Riau Brigjen Pol Sutjiptadi muncul di Bareskrim Mabes Polri, Senin (22/10) siang.
Orang nomor satu di Kepolisian Daerah (Polda) Riau, yang gencar melaksanakan operasi illegal logging di wilayahnya hingga menyulut kontroversi dengan Departemen Kehutanan itu mengaku, tidak akan surut langkah. Namun dia menolak menjelaskan agendanya ke Bareskrim Polri.

‘’Saya baru bertemu dengan Pak Hadiatmoko (Dir V Tipiter Bareskrim, red). Isinya tanya beliau saja, jangan saya. Semuanya satu pintu,’’ ujarnya sambil buru-buru masuk ke dalam mobilnya dan menggenggam map warna biru. Saat ditanya, apakah agenda pertemuannya itu membahas tim gabungan yang diketuai Menko Polhukam? ‘’Bukan itu,’’ tegasnya

Seorang petinggi di lingkungan Mabes Polri mengatakan, polisi saat ini memang tengah menahan diri untuk berbuat lebih banyak dalam memberantas illegal logging. Pasalnya upaya polisi sering dianggap salah oleh pihak lain. ‘’Saat polisi menyikat praktik ilegal itu maka ada yang mengatakan kami menghambat ekonomi dan menciptakan pengangguran. Kami kini tahan diri di Riau sambil melihat kemana arahnya,’’ imbuhnya.

Namun Sutjiptadi membantah hal tersebut. Dia juga membantah jika pihaknya kini tidak lagi serius dalam menangani praktik yang merugikan negara triliunan rupiah pertahunnya itu. ‘’Kami tetap akan proses semua. Tapi jangan tanya saya silahkan tanya Pak Hadiatmoko,’’ janjinya.

Brigjen Pol Hadiatmoko yang dihubungi terpisah membantah adanya pertemuan dengan Sutjiptadi itu. ‘’Saya sedang di Kejaksaan Agung,’’ katanya.

Read More......